Menakar Keberkahan Ilmu


Oleh : Abdul Rouf, B.Sc 

Saya ucapkan selamat wisuda kepada mahasiswa Fakultas Syariah angkatan ke-23 dan Dirasat Islamiah angkatan pertama Universitas Al-Ahgaff. Acara wisudanya berwibawa, khidmat dan dihadiri oleh banyak ulama dari Hadhramaut. Semoga ilmu yang kalian dapatkan berkah dan manfaat.

“Berkah dan manfaat”. Kita sebagai santri, yang selalu kita dambakan adalah ini. Secuil apapun, sedemikian apapun ilmu yang diperoleh, asalkan bisa bermanfaat dan berkah, sudah sangat menggembirakan bagi kita. Ditambah lagi rida dari guru, sudah lebih-lebih.

Dunia yang kita huni ini membuat kita berpikir, dan mendikte kita untuk selalu dan selamanya menilai apapun dari luarnya, kulit, topeng, dan madzahirnya belaka. Kita pun tak luput dari aturan main dunia ini. Dimulai dari kita haflah, kemudian teman-teman seangkatan berpisah, dan tiba-tiba saja di grup whatsapp angkatan, kita tahu bahwa ternyata sudah ada yang megang pondok, sekolahan, jadi mantu kiai fulan, memimpin majelis taklim di daerah sana, ada yang jadi penulis kitab. Takjub dalam hati, “Masya Allah.”

Sementara kita masih tidak ada kemajuan. Masih saja di sini, begini, merasa abadi. Dan di lubuk hati yang paling rahasia, kita mempertanyakan, “Sepertinya ilmu saya kurang berkah dan manfaat”. Jadi, bisakah kita menakar keberkahan ilmu dari aspek-aspek ini?

Memang tidak bisa dielakkan bahwa banyak di luaran sana, dulu maupun sekarang, yang ilmunya sangat nampak berkah dan manfaatnya dilihat dari berapa jumlah muridnya, institusi apa yang telah ia bangun, kitab apa yang ia tulis. Para imam mazhab contohnya, murid mereka banyak, pengetahuannya abadi, institusi sebuah mazhab yang mereka bangun pun sangat kokoh setelah ratusan tahun.

Namun demi amanat keilmuan, saya harus menampilkan juga contoh sebaliknya: mereka yang terkucilkan namun kita semua sepakat akan keberkahan ilmunya. Kita ambil saja nama yang populer, khususnya di telinga santri Hadhramaut.

Imam Suyuthi (w 911 H), seorang maestro dari kalangan ulama yang tidak bisa dinafikan dari dunia keilmuan. Senakal-nakalnya santri pasti tahu nama ini. Kitabnya lebih dari tiga ratus judul.

Namun sayang, Imam Suyuthi termasuk dimusuhi orang-orang sezamannya. Ini dikarenakan beliau yang pernah berkata bahwa alat-alat ijtihad telah sempurna dalam dirinya. Bahkan ulama sezamannya pun menentang. Orang-orang berperilaku tidak baik kepada beliau.  Sampai pada akhirnya beliau memutuskan untuk hidup menyendiri di Raudhoh di tepian sungai Nil hingga akhir hayatnya. Pada masa itulah, lebih dari setengah kitab-kitabnya ditulis. [Sullamul Wushul, Haji Khalifa]

Kemudian ada Syekh Makruf bin Abdullah Bajamal (w 969 H), guru ruh dari Fakhrul Wujud Syekh Abu Bakar bin Salim. Semua santri Hadhramaut tahu siapa itu Syekh Abu Bakar bin Salim yang dikuburkan di ‘Inat. Guru beliau yang bernama Syekh Makruf Bajamal nasibnya tidak sebagus muridnya. Syekh Makruf aslinya adalah orang Syibam sebelum hijrah ke Dau’an. Lebih tepatnya diusir.

Demi menjalankan amanat keilmuan yang beliau pikul, sultan Al-Kathiri yang menguasai Syibam mengusir beliau. Tidak tanggung-tanggung. Beliau dipermalukan di depan semua penduduk Syibam, lehernya diikat dengan sebuah tali dan diarak keliling Syibam. “Lihatlah sesembahan kalian ini, wahai penduduk Syibam!” teriak Sultan. [Annur Assafir, Abdul Qadir bin Syekh Al-Idrus]

Ada juga Quthbud Dakwah Imam Abdullah Al-Haddad (w 1132 H), seorang wali qutub yang mencapai derajat ijtihad, penganggit Ratib Al-Haddad dan Kitab Risalatul Mu’awanah [Al-Imam Al-Haddad, Musthafa Al-Badawi]. Dalam beberapa riwayat lisan, Imam Al-Haddad tidak begitu dikenal penduduk Tarim. Bahkan kalau ada orang dari tempat-tempat jauh mencarinya, akan diolok, “Ngapain kalian cari si buta itu?”

Kurang contoh siapa lagi? Kalau perlu para nabi pun, termasuk Nabi Hud, saya kutip. Selain zaman mereka jauh, juga akan semakin panjang.

Jadi, memimpin pondok, memiliki murid, menulis kitab, membangun instansi, tidak begitu ada kaitannya dengan keberkahan ilmu. Sebab berapa banyak mereka yang memiliki itu semua, namun mereka gunakan untuk menjual agama ditukar dengan barang dagangan yang begitu murah tak seberapa.

Jadi, dengan apa kita bisa mengetahui keberkahan ilmu? Imam Sirajuddin Al-Bulqini (w 805 H), seorang mujtahid bermazhab syafi’i dan juga kadi di Syam [Al-A’lam, Az-Zarkali] menjelaskan dalam kitabnya At-Tadrib fi Fiqh As-Syafi’i, setelah menerangkan panjang lebar mengenai definisi fiqih dari berbagai macam sudut pandang, pada akhirnya beliau berkata,

فإن رأس العلم خشية الله

“Sesungguhnya inti dari segala inti semua ilmu adalah takut kepada Allah.”

Cara takar sederhana yang sungguh tidak sederhana. Kita telah membaca, menulis, belajar, talaki, ziarah, diskusi, khidmah, lelah, namun pada akhirnya kita harus mengakui dan kembali ke titik di mana kita memulai segalanya: takut kepada Allah.

Kalau kamu santri yang dulu waktu mondoknya kenceng, dan masih kalah dengan nasib tidak punya murid dan tidak megang apa-apa, sudah santai saja. Kamu bukan orang pertama. Syekh Ibn Taimiah berkata, “Telah saya istiqra, bahwa salah satu sunatullah adalah orang yang dihinakan dan tersiksa karena beban ilmu yang dipikulnya, akan tersebar kebaikan dan keberkahan setelah wafatnya. Akhir cerita adalah milik mereka yang takut kepada Allah.” [At-Taj al-Mukallil, Abu Thayyib Khan]

==========================


Posting Komentar

0 Komentar