Memahami term Muthlaq
dan Muqoyyad
Ijtihad, didalam syariah Islam adalah upaya maksimal untuk memahami
hukum-hukum yang dikehendaki oleh Tuhan. Oleh karenanya, bahasa Arab yang notabene
merupakan bahasa pilihan Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan dan
hukum-hukum-Nya, merupakan suatau keniscayaan untuk dikuasai oleh para pengkaji
hukum Islam. Teorisi hukum Islam (Ushuliun), telah meletakkan sebuah disiplin
ilmu yang secara khusus menjelaskan istilah-istilah yang bisa dijadiakan
sebagai media untuk menggali hukum-hukum tesebut dari teks-teks syariah. Dalam
ilmu itu kita dikenalkan dengan term 'am, khash, muthlaq, muqoyyad, dhohir,
muawwal, mujmal, bayan, dan terma-terma lainnya. Dengan memahami
istilah-istilah tersebut dan hukum-hukumnya kita bisa memahami bagaimana seorang
Mujtahid mencetuskan sebuah hukum dan bagaimana terjadi silang pendapat
diantara mereka, dan bahkan bagaiman kita dapat menggali sendiri hukum-hukum
baru dari teks-teks syariat. Tulisan ini, hendak meguraikan term muthlaq dan
muqoyyad, baik definisi maupun hukum-hukumnya, sebagai ihtiyar awal untuk
menjadi Teorisi dan penggali hukum Islam yang handal. Mudah-mudahan, amin.
I.
Definisi Muthlaq
Para Ahli Ushul Fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan term Muthlaq. Menurut pendapat yang dipilih oleh syekh
Zakariyya al-Anshary dalam Lubb al-Ushul, Muthlaq adalah lafadz yang
menunjukkan pada Mahiyyah( hakikat,esensi) tanpa melihat kapada qoyyid
apapun. Misalnya lafadz Dzakarun,
menurut pendapat ini yang ditunjukkan lafadz Muthlaq adalah hakikat laki-laki
tanpa memandang kepada selainnya, baik kuantitas ataupun sifat-sifat yang lain.
Sementara menurut pendapat al-Amidi dan Ibnu Hajib, Muthlaq adalah lafadz yang
menunjukkan pada sesuatu yang umum di dalam jenisnya. Menurut pendapat ini,
makna yang ditunjukkan lafadz Dzakarun adalah personal-personal atau individu-individu[1]
yang bisa masuk dalam jenis laki-laki bukan mahiyyahnya laki-laki
sebagaimana menurut pendapat pertama. Menurut pemilik pendapat ini, Nakirah ada
dua yaitu Nakirah Amah dan Nakirah Ghoru Amah. Sedangkan Muthlaq menurut mereka adalah Nakirah
Ghoiru Amah. Yakni Nakirah yang terletak dalam kalimat positif(kalam
mutsbat) dan Nakirah yang menunjukkan pada makna yang umum dalam jenisnya
saja bukan nakirah yang menunjukkan pada makna yang umum didalam nauw'(macam)nya.
Kata a'tiq raqabatan mu'minah tidak termasuk muthlak, sebab,
meski ia bisa memasukkan setiap individu-individu yang ada di bawahnya akan
tetapi individu-individu tersebut tidak masuk dalam jenisnya tetapi masuk di
dalam naw'(macam)nya. Jenis yang dimaksud disini adalah jenis budak,
sementara yang dimaksud dengan naw'(macam) adalah budak yang mu'min. Jika
kalimat mu'minah dalam contoh tersebut dihilangkan maka ia adalah lafadz
muthlaq karena ia memasukkan individu-individu yang ada di bawahnya di dalam
jenis budak.
Pendapat terakhir ini dibangun atas dasar asumsi bahwa perintah dengan mahiyyah(hakikat,
esensi)seperti perintah memukul tanpa qoyyid adalah perintah untuk
melakukan salah satu bagian particular(juziyyah) dari mahiyyah tersebut.
Dalam hal ini, perintah untuk memukul dengan tanpa qoyyid berarti
perintah untuk melakukan pukulan dengan tangan, dengan tongkat atau dengan yang
lainnya dari setiap pekerjaan yang masuk dalam hakikat memukul. Sebab, menurut
pendapat ini, hokum-hukum syariah umumnya hanya dibangun diatas masalah-masalah
partikular bukan pada mahiyyah(hakikat, esensi)yang hanya ada di dalam
nalar, karena bagi mereka, mahiyyah tersebut tidak mungkin wujud secara
nyata.
Namun, menurut pendapat pertama, alasan ini tertolak. Sebab, ketidak
mungkinan wujudnya mahiyyah itu hanya terjadi jika mahiyyah itu
wujud secara sendiri tanpa berada pada bagian-bagian particular(juziyyah-juziyyah)nya.
Menurut pendapat ini, mahiyyah itu wujud dengan wujudnya bagian-bagian
partikular mahiyyah tersebut, karena mahiyyah itu adalah bagian
dari bagian-bagian partikularnya, sedangkan sesuatu yang menjadi bagian dari
sesuatu yang wujud pasti adalah sesuatu yang wujud pula. Berdasarkan ini, maka
perintah dengan mahiyyah adalah perintah untuk mewujudkan mahiyyah
tersebut dalam kandungan bagian-bagian partikularnya bukan perintah untuk
melakukan bagian-bagian particular(juziiyyah-juziyyah) itu sendiri.
Berpijak pada pendapat pertama(al-Mukhtar), maka lafadz Muthlaq
dan Nakirah adalah sama, sedang yang membedakan antara keduanya adalah sudut
pandangnya saja. Sebuah lafadz, jika dilihat dari sisi penunjukannya pada mahiyyah
tanpa qoyyid disebut muthlaq dan jika dilihat sisi ia bersamaan dengan qoyyid
makna umum(syuyu') disebut Nakirah. Ketika seorang suami mengatakan
kepada istrinya, in waladti dzakarain fa anti tholiqun, kemudian ternyata
si istri melahirkan satu anak laki-laki. Dalam hal ini, jika yang dimaksud dengan
kata dzakarun itu adalah muthlaq maka si istri tercerai akan tetapi jika
yang dimaksud adalah nakirah maka si istri tidak tercerai. Hal ini, karena
tinjauan muthlaq adalah pada hakikat dan hakikat laki-laki sudah wujud dalam
satu orang, sementara tinjauan nakirah adalah pada qoyyidnya yakni dua anak
laki-laki.
Selain dua pendapat ini, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
perintah dengan mahiyyah adalah perintah dengan tiap-tiap bagian particular(juzi-juzi)
dari mahiyyah tersebut, karena tidak adanya qoyyid menunjukkan
pada makna umum. Dan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perintah dengan mahiyyah
berarti izin untuk melakukan tiap-tiap bagian partikular mahiyyah tersebut.
Berdasarkan dua pendapat yang terakhir ini seseorang yang diperintahkan dengan mahiyyah
dianggap sudah keluar dari tuntutan perintah tersebut dengan melakukan satu
saja dari bagian-bagian partikul(juziyyah-juziyyah) mahiyyah
tersebut.
II. Hokum-hukum Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq dan muqayyad sama dengan 'Am dan Khas dalam beberapa hukumnya,
sebagaimana keumuman al-Quran boleh ditakshis dengan as-Sunnah maka kemutlakan
al-Quran juga boleh ditaqyid dengan as-Sunnah, sebagaimana keumuman al-Quran
bisa ditahshish dengan al-Qiyas maka kemutlakan al-Quran juga bisa ditaqyid
dengan al-Qiyas dan begitu seterusnya. Hanya saja, muthlaq dan muqoyyad
memiliki hokum tertentu yang tidak terdapat dalam 'Am dan Khash yaitu sebagai
perincian berikut ini:
1. Hokum dan sebab yang terdapat dalam muthlaq dan
muqayyad sama
Hal ini, seperti apabila sabab hukum dalam muthlaq dan muqoyyad
sama-sama dhihar sementara hukumnya sama-sama kewajiban memerdekan
budak, maka dalam kondisi semacam ini, jika lafadz muthlaq dan muqoyyad
tersebut sama-sama dalam kalimat positif(kalam mutsbat), baik keduanya berbentuk
kalimat perintah seperti misalnya dalam kaffarat dhihar dikatakan; a'
tiq raqobatan dan a'tiq roqobatan mu'minah. Atau keduanya berbentuk
kalimat berita/kalam khobar, seperti misalnya, tujziu roqobatan dan tujziu
roqobatan mu'minah. Atau salah satunya kalimat perintah sementara yang lain
kalimat berita/kalam khobar, seperti misalnya tujziu roqobatan
mu'minah dan a'tiq roqobatan. Maka lafadz yang muqoyyad
menghapus(baca, nask) pada lafadz yang muthlaq apabila lafadz muqoyyad tersebut
datang setelah waktu pelaksanaan kandungan lafadz muthlaq. Sementara apabila
lafadz muqoyyad datang sebelum waktu pelaksanaan kandungan lafadz muthlaq atau
lafadz muthlaq dating setelah lafadz muqoyyad atau keduanya dating secara
berbarengan atau tidak diketahui mana yang lebih dulu maka yang muqoyyad
membatasi pada lafadz yang muthlaq.
Sementara jika antara salah satu dari lafadz muthlaq dan muqoyyad
tersebut ada yang berbentuk kalimat positif(kalam mutsbat) sedangkan
yang lain berbentuk kalimat negative(kalam manfi atau manhi)seperti
misalnya, a'tiq roqobatan dan la ta'tiq roqobatan kafirah, maka
lafadz yang muthlaq dibatasi dengan kebalikan qoyyid yang terdapat dalam lafadz
muqoyyad. Dalam contoh diatas berarti roqobah yang terdapat dalam kalimat; a'tiq
roqobatan harus dibatasi dengan kebalikan qoyyid kafirah (yaitu mu'minah)
yang terdapat dalam kalimat; la ta'tiq roqobatan kafirah.
Dan apabila lafadz muthlaq dan muqoyyad sama-sama dalam kalimat
negative(kalam manfi atau kalam manhi)seperti misalnya, la yujziu roqabatan
dan la yujziu raqobatan kafirah atau la ta'tiq mukataban dan la
ta'tiq mukataban kafiran maka menurut ulama' yang mengatakan kehujjahan
mafhum mukholafah, lafadz yang muthlaq harus dibatasi dengan lafadz yang
muqoyyad. Sedangkan menurut ulama' yang tidak menerima kehujjahan mafhum
mukholafah maka lafadz yang muthlaq ditetapkan pada kemutlakannya.
2. Hukum dan sebab dalam muthlaq dan muqoyyad sam-sama berbeda
Seperti dalam masalah saksi dan dan budak yang harus dimerdekakan dalam
kaffarat. Dalam hal ini, misalnya nash yang menjelaskan tentang saksi
disyaratkan harus adil sementara nash yang menjelaskan tentang seorang budak
yang harus dimerdekakan tidak ada ketentuan demikian maka ulama' sepakat nash
yang muthlak ditetapkan pada kemuthlakannya. Dengan demikian dalam contoh ini,
budak yang harus dimerdekakan tidak harus adil.
3. Hukum dalam muthlaq dan muqoyyad berbeda sedang
sebabnya sama
Hal ini, seperti dalam masalah wudlu' dan tayammum. Ayat yang
menjelaskan pembasuhan tangan di dalam whudu' adalah muqoyyad, yaitu dengan
qoyyid sampai pada kedua siku. Sementara ayat yang menjelas pengusapan tangan
dalam tayammum adalah muthlaq, tanpa qoyyid apapun. Penyebab untuk melaksanakan
keduanya adalah sama yaitu keadaan hadats bagi orang yang hendak melakukan
sesuatu yang disyaratkan harus dalam keadaan suci, seperti sholat dll
4. Hokum dalam muthlaq dan muqoyyad sama sedang sebabnya
berbeda dan tidak ada dua lafadz muqoyyad yang diqoyyidi dengan qoyyid yang
berlawanan
Contoh kondisi semacam ini adalah masalah memerdekakan budak yang
merupakan kaffarat dhihar dan kaffarat pembunuhan. Ayat yang menjelaskan
kaffarat dhihar adalah muthlaq, sementara ayat yang yang menjelaskan kaffarat
pembunuhan adalah muqoyyad, yakni berupa budak yang mukmin. Dan dalam hal ini,
tidak ada nash lain yang muqoyyad yang qoyyidnya berlawanan dengan qoyyid
tersebut.
5. Hokum muthlaq dan muqoyyad sama sedang sebabnya
berbeda dan ada dua lafadz muqoyyad yang diqoyyidi dengan qoyyid yang
berlawanan namun lafadz yang muthlaq lebih tepat diqoyyidi dengan salah satunya
dipandang dari sisi qiyas
Hal ini, seperti dalam masalah kewajiban berpuasa dalam kaffarat
pelanggaran sumpah, kaffarat dhihar dan haji tamattu'. Ayat yang menjelaskan
kewajiban berpuasa dalam kaffarat pelanggaran sumpah adalah muthlaq. Sementara
ayat yang menjelaskan kaffarat dhihar dan haji tamattu' adalah muqoyyad yakni
harus berpuasa secara terus menerus selama dua bulan dalam kaffarat dhihar dan
berpuasa tiga hari pada saat haji dan tujuh hari ketika sudah pulang di
dalam haji tamattu'. Dalam contoh ini,
kaffarat berpuasa lebih tepat dianalogikan pada kaffarat dhihar karena diantara
keduanya ada titik temu yaitu penyebabnya sama-sama pekerjaan yang terlarang.
6. Hokum muthlaq dan muqoyyad sama sedang sebabnya
berbeda dan ada dua lafadz muqoyyad yang diqoyyidi dengan qoyyid yang
berlawanan dan lafadz yang muthlaq tidak lebih tepat diqoyyidi dengan salah
satunya dipandang dari sisi qiyas
Hal ini, seperti dalam masalah puasa qodo, puasa sebagi kaffarat dhihar
dan puasa akibat melakukan haji tamattu'. Ayat dalam masalah puasa qodo adalah
muthlaq sementara dalam dhihar adalah muqayyad yaitu harus puasa terus menerus
dua bulan, dan dalam haji tammattu' juga muqoyyad tetapi dengan qoyyid harus
dipisah.
Dalam masalah nomor tiga, empat, dan lima pendapat yang lebih benar(Ashah)menurut
syaikh Zakariyya al-Anshary adalah mengarahkan nash yang muthlaq kepada nash
yang muqoyyad dengan cara qiyas. Dalam arti untuk melakukan hal ini,
disyaratkan harus ada titik temu yang dapat mempertemukan kedua nash tersebut.
Titik temu yang terdapat dalam pembasuhan dengan pengusapan tangan dalam wudu'
dan tayamum adalah karena penyebabnya sama yaitu hadats bagi orang yang ingin
sholat, titik temu dalam masalah kewajiban memerdekakan budak dalam kaffarat
dhihar dan kaffarat pembunuhan adalah karena penyebabnya sama-sam haram, dan
titik temu dalam puasa kafarat pelanggaran sumpah dan kafarat dhihar adalah
karena keduanya sama-sama terlarang.
Untuk masalah yang terakhir, nash yang muthlak ditetapkan pada
kemuthlakannya, karena ia tidak mungkin diarahkan pada kedua nash yang muqoyyad
yang belawanan dan juga tidak mungkin diarahkan pada salah satu dari dua nash
yang muqoyyad tersebut karena tidak ada yang mengungulkan salah satunya.
(Mahyus Muhammad dari kitab Ghoyatul Ushul karya Syaikh Zakariyya al-Anshory)
[1] . Yang dimaksud
individu-individu disini bukanlah harus berupa satu akan tetapi mencakup juga
terhadap dua, tiga dan seterusnya, yang bisa masuk dalam sebuah lafadz. Seperti
lafadz qoma dzakaraan, maka yang ditunjukkan oleh lafadz ini adalah dua orang
laki-laki secara umum.
0 Komentar