Oleh: M. Imam Rahmatullah *
Prolog:
Berbicara tentang filsafat, mungkin yang terbesit di hati sebagian
para mahasiswa sarungan: Filsafat adalah sebuah ilmu warisan ilmuwan Yunani
yang berisikan pemikiran-pemikiran yang penuh dengan kekacauan dan kesesatan.
Setidaknya itu senada dengan sebagian doktrin dari para ulama yang tertuang
dalam catatan klasiknya, sehingga tak sedikit pula doktrin itu meninggalkan
stigma negatif kepada filsafat dihati sebagian orang. Kecenderungan ini kadang
mendorong seseorang untuk menutup mata pada setiap hal yang besentuhan dengan
filsafat, seakan membuat tabir pemisah. Padahal tak menutup kemungkinan ada
kebenaran di balik filsafat. Mungkin asumsi ini lahir dari rasa ketidaktahuan
dan propaganda yang ada dilingkungan kita. Memang agak terdengar naïf, menilai
sesuatu sebelum mengetahui substansinya terlebih dulu, hanya dengan dalih “seperti
inilah yang aku jumpai dari pendahuluku”.
Melalui makalah mungil ini, penulis ingin menghadirkan sedikit
sejarah filsafat dan dinamikanya, disertai pula menampilkan secara khusus
pandangan hujjatul islam
Al-ghozali terhadap filsafat,
agar kita tak hanya sekedar menilai tanpa dasar, namun tau apa substansi ilmu
filsafat tersebut.
Definisi dan Perkembangan filsafat di tengah islam;
Filsafat diambil dari bahasa yunani, dengan ejaan Philosofi, ia
tersusun dari dua kata philos yang berarti cinta, dan sofia yang berarti kebijaksanaan atau
kearifan, jika di gabungkan maka arti filsafat secara etimologi adalah cinta
kepada kebijaksanaan.
Secara istilah; filsafat memiliki beberapa definisi yang di
kemukakan oleh para filosof, namun bisa disimpulkan sebagimana berikut,
filsafat ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara
radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia[1].
Sedangkan filsafat menurut perspektif islam, para filsuf muslim
memaknai filsafat sebagaimana makna dasarnya, yaitu cinta kearifan (love of
wisdom) yang bertujuan mencari hakikat segala yang ada (Being; wujud) tanpa
harus dibatasi pada usaha rasional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan
segala sumber pengetahuan secara integratif, mulai dari potensi rasional,
intuisi dan wahyu[2].
Keberadaan filsafat ditimur tengah dimulai dari pra islam, yaitu
ketika Aleksander Agung datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Dengan
membawa kekuatan militer dan juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya
meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan
kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan
pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat.
Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di
Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah
(dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur
di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) diIran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan
Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di
Iran. Daerah-daerah ini,dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan
tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan
ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang
Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para
sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama
yang menganut agama Nasrani dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul
satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu
ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan
argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani.
Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa
serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen
filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan
kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang
dipelopori kaum Mu'tazilah. Kemudian pada masa kekuasaan bani abasiyyah, atas
perintah kholifah al ma’mun terjadilah penterjemahaan besar-besaran terhadap
beberapa literature ilmu yunani, tercatat ada Sembilan disiplin ilmu yang
dialih bahasakan kedalam bahasa arab, diantara lain: filsafat, kedokteran,
sains, dsb. Lalu tak lama setelah itu lahirlah filsuf-filsuf muslim, seperti al
kindi, al farabi, ibnu sina, al ghozali, ibnu rusd, dsb[3].
Corak pemikiran para filosof muslim sangat beragam, seperti Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd yang menganut genre Peripetatik, Suhrawardi dengan genre
Iluminasionistik (Israqi), Mulla Sadra dengan Hikmah Muta'aliyah-nya, sedangkan
Al-Ghazali dengan corak religius-ortodok yang bermuara pada sufistik. Namun
keberagaman ini tetap berada dalam koridor tujuannya, yaitu mencari kearifan
(love of wisdom).
Dalam Islam terdapat istilah hikmah yang diidentifikasikan sebagai
filsafat. Dalam hikmah, kebenaran yang dicari adalah kebenaran tertinggi, yaitu
Tuhan sebagai Yang Maha Benar (al-Haqq). Itulah puncak pencarian kebenaran
sehingga metafisika disebut al-falsafat al-ula, sebagaimana al-Kindi yeng
memberi judul bukunya dengan Fi al-Falsafat al-Ula. Dalam buku ini, Al-Kindi
berbicara tiga komponen filosofis, yaitu filsafat, hikmah dan Haqiqat. Ketiga
komponen tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, sebab ketiganya
memiliki saling keterkaitan untuk membangun pemahaman komprehensif tentang
filsafat Islam.
Kearifan yang dicari itu tidak hanya dalam tataran konseptual,
seperti ditegaskan al-Kindi dalam Fi al-Falsafat al-Ula bahwa filsafat memiliki
tujuan teoretis, yaitu kebenaran, dan tujuan praktis yaitu struktur tindakan
sesuai dengan kebenaran yang diperoleh. Oleh karena itu, kearifan dalam
filsafat Islam tidak hanya sekedar teori belaka, melainkan struktur tindakan
yang berbentuk prilaku dan pola hidup sebagai cermin pribadi seorang filosof[4].
Namun toh demikian harus diakui bahwa isu filsafat didalam islam
banyak sekali menuai perdebatan dan perbedaan diantara para ilmuwan islam,
sebagaimana kritik keras yang dilancarkan oleh al ghozali terhadap para filsuf
yang lain.
Perspektif Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai pandangan Al-Ghazali terhadap filsafat, tercatat ada tiga
kitab yang menjadi representative pandangan beliau, yaitu: Maqosidul falasifah, Tahafutul falasifah, Al Munqid minadholal. Dibawah
ini, sedikit cuplikan dari ketiga kitab beliau, mungkin bisa menggambarkan
corak pemikiran beliau:
Maqosidul falasifah: ini
merupakan kitab pertama al-ghazali dalam bidang filsafat, disana beliau
kemukakan kesimpulan dari hasil kajiannya terhadap ilmu filsafat yang di
pelajarinya secara otodidak. Beliau menjelasakan ilmu filsafat secara garis
besar tanpa melihat pada sisi positif dan negatifnya, beliau mengakui bahwa
tujuan menyusun kitab ini adalah menggambarkan hakikat pemikiran filsafat yang
kerap membingungkan sebagaian pelajar islam.
Di dalam kitab ini beliau membagi cabang ilmu filsafat menjadi
empat tema utama : Ilmu
riyadliyah (ilmu
mathematics), Ilmu mantiqiyyah (ilmu logis), Ilmu thobi’iyyah (ilmu fisika), Ilmu ilahiyyat (ilmu metafisika). Beliau menambahkan dari empat
tema ini, dua tema yang pertama secara garis besar tidak menyalahi prosedur
agama (mathematics & mantiq). Dan yang kedua: (fisika & metafisika)
banyak sekali terdapat kesalahan dan kesesatan, yang akan beliau jelaskan
secara khusus dalam kitab tahafutul falasifah[5].
Tahafutul falasifah: Sebagaimana
yang telah beliau isaratkan sebelumnya, didalam kitab ini beliau menjelaskan
kesalahan dan kerancuan pemikiran filsafat, disertai dengan bantahannya. Tak
lupa beliau juga mengkritik tajam para filosof, beliau berkata: ”sumber kekufuran manusia pada saat
itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus,
Plato, Aristoteles dan lain-lainnya, mereka mendengar perilaku pengikut filsuf
dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan
prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika,
ilmu alam, dan telogi, mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari
semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para
filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu
daya yang dihiasi keindahan”[6].
Kemudian beliau menyampaikan letak kesalahan para filsuf Dalam
bidang metafisika dan fisika, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl
al-bid’at dan sesat. Setidaknya ada 20 kesalahan yang dilakukan oleh filosof
yang beliau kemukakan. Namun secara garis besar, menurut beliau ada 3 kesalahan
terbesar yang dilakukan para filosof:
· Mengatakan
Alam semesta dan semua substansinya qadim.
· Mengatakan
Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (partical) yang terjadi di alam semesta ini.
· Mengingkari
pembangkitan jasmani, dan meyakini bahwa yang dibangkitakan hanya ruh.
Disini akan kami cuplik satu poin saja dari 3 kesalahan diatas,
argument para filsuf berikut bantahan al ghazali:
Alam semesta dan semua substansi qadim
Terjadi perbedaan diantara para filsuf mengenai ke Qodiman
alam, namun mayoritas mereka mengatakan mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada
sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman,
seperti pancaran sinar matahari ada bersamaan dengan terbitnya
matahari[7]. Pendapat para filsuf ini berangkat dari ideologi mereka yang
mengatakan mustahil wujudnya hadis keluar dari dzat yang qodim mutlaq,
dengan penalaran sebagaimana berikut: jika kita gambarkan adanya qodim (allah)
namun alam semesta ini belum tercpita, karena saat itu belum ada murojjih
(factor) untuk menciptakan alam, dan keberadaan alam ini masih berstatus imkan wujud, maka setelah alam ini
tercipta akan timbul pertanyaan, kenapa baru diciptakan sekarang? Tidak mungkin
dikatakan karena sebelumnya tidak mampu, atau tidak ada materinya, kerena ini
sangat mustahil bila kita nisbatkan kepada allah. Atau paling dekat dikatakan,
karena sebelumnya allah belum mengIrodahkan untuk menciptakan alam, ini
juga tidak mungkin, karena secara tidak langsung mengatakan iradahnya allah itu hadis, padahal allah munazzahun min sifatil hawadis.
Sehingga kesimpalanya menurut para filsuf, alam semesta ini qodim[8].
Kemudian al-Ghazali membantah argumen filosof itu. Beliau katakan;
tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan
iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud
alam sebelumnya karena memang iradohnya allah yang qodim, menghendaki wujudnya
alam pada waktu telah ditentukan, dan akan terus berlangsung sampai batas waktu
yang telah ditentukan[9].
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga
mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis
yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali
dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak
secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha
Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia
kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan
dalam bentuk yang Dia kehendaki”[10]. Itulah sedikit cuplikan bantahan
al-Ghazali didalam At tahatul falasifah.
Namun menurut dr. sulaiman dunnya, dua kitab diatas tidak bisa
dijadikan sebagai patokan yang mewakili pandangan al-Ghazali terhadap filsafat,
kerana pada saat itu al-ghazali dalam masa kegaluan dan keraguannya terhadap
semua ilmu pengetahuan[11]. Hal ini sesuai yang beliau ungkapkan sendiri
didalam al munqid min dholal: “Sungguh terwujud sabda nabi ini sampai aku
tak tau mana yang selamat diantara golongan itu, sejak dini sampai usiaku
mendekati 50 tak henti-hentinya aku mencari kebenaran diantara golongan itu. Aku
selami samudra yang dalam itu dengan jiwa pemberani, aku dalami setiap pendapat
yang menyimpang, aku terjuni setiap ke musykilan, aku analisis ideologi setiap
golongan, agar aku bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, mana yang
sesuai sunnah dan mana yang ahli bid’ah. Semua itu aku lakukan tak lain karena
ingin mengetahui hakekat setiap disiplin ilmu, hingga akhirnya pencarian itu
telah sampai pada ujungnnya, aku menemukan ilmu secara yakin dan kokoh
tak runtuh di hantam oleh kesubhatan [12].
Dari pernyataan beliau ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada saat
beliau menyusun dua kitab diatas, beliau masih dalam kondisi ragu dan bimbang.
Al munqid minadholal: Para pakar
mengatakan: ini merupakan kitab terahir yang di susun oleh al-Ghazali, berisikan
pandangan akhir al-Ghazali atas analisanya terhadap seluruh pengetahuan yang ia
pelajari selama ini. Disini ia tidak hanya mengupas kerancuan filsafat dalam
bidang metafisika dan fisika, namun juga mengkritik kesalahkaprahan yang terjadi di dunia pendidikan islam
kala itu. menurut beliau: Rumus
dan teori filsafat secara umum ada yang tercela dan ada yang tidak, ada yang
menyebabkan kekufuran dan ada yang tidak, ada yang dianggap bid’ah ada yang
tidak. Ada pula pendapat filsuf yang mereka adopsi dari ajaran islam, ada juga
pendapat yang tercampur antara yang haq dan bathil[13].
Kemudian beliau membagi filsuf menjadi tiga golongan:
1) Ad-dahriyyun (Materialis): Mereka tak percaya pada
adanya tuhan, sementara itu alam semesta ini ada semenjak dulu tanpa ada
pencpitanya. Pemikiran ini cenderung pada atheisme.
2) At-thobi’iyyun (fisikawan): Mereka lebih
cenderung untuk menganalisa tabiat alam, baik flora maupun fauna. Membedah
proses hidup seekor hayawan. Disini mereka mengetahui kebesaran cipta’an allah
SWT., karena mereka menyadari bahwa dibalik eksistensi alam dan seisinya pasti
tak lepas dari kekuasan dzat yang menciptkannya. Namun rumus dn teorinya banyak
yang tercampur dengan kesesatan. Golongan ini lebih mendekati pada kebenaran
dari pada kelompok sebelumnya, hanya saja golongan ini berpendapat bahwa ruh
yang sudah keluar dari jasad manusia tak bisa kembali lagi, sehingga mereka
mempercayai kelak yang dibangkitakan dari kubur, yang masuk neraka atau surga,
tak lain adalah ruhnya saja. Ini tentu mnyimpang dengan kepercayaan kita.
3) Al-Ilahiyyun (metafisikawan): Mereka seperti
sacrote, plato, dan muridnya yang bernama aristoteles, ialah yang menyusun
dasar-dasar ilmu mantiq, dan merumus ulang konsepsi ilmu filsafat yang diterima
dari pendahulunya, golongan ini secara umum menentang kelompok sebelumnya. Tak
hanya itu, aristoteles juga membantah pemikiran pendahulunya, plato dan
sacrote. hanya saja aristoteles masih belum entas dari jurang kesesatan, maka
wajib menyematkan kata sesat kepadanya dan orang yang mengikuti pemikiranya
(ibnu sina dan al farabi).
Secara garis besar, beliau menyimpulkan pemikiran aristoteles
terbagi menjadi tiga, pertama: sesuatu bisa menyebabkan kekufuran, dua :
sesuatu yang dianggap kebid’ahan, tiga: sesuatu yang tidak perlu di ingkari,
tidak sesat.
Disini beliau juga membagi objek ilmu filsafat menjadi enam tema :
1) Ariyadyiah (matematic): ilmu yang membahas
tentang hitungan pasti, matematika, geomatri dan astronomi, Tidak ada kaitan
apapun dengan agama. Ia hanya merupakan bukti-bukti empiris yang tidak bisa
dingkari. Seperti perputaran matahari pada porosnya tak akan luput.
2) Mantiqiyyah (silogisme): ilmu ini tak ada kaitanya
juga dengan agama, ia hanya sekedar metodologi dalam memahami dalil, atau
merumuskan sebuah konklusi. Ilmu ini tak menyimpang dari koridor agama, bahkan
banyak para ahli kalam menggunakan konsep dalam ilmu ini meskipun toh ada
perbedaan dalam pengguanaan istilah.
3) At-thobbi’iyah (fisika): sebagai mana yang
dijelaskan, ilmu ini menganalisa tabiat alam dan isinya. mulai dari keberdaan
langit bintang dan segala makhluq yang ada di atas muka bumi ini. Tidak semua
rumus yang ada di ilmu fisika menyalahi ajaran agama, dan keterangan secara
spesifiknya telah beliau jelaskan didalam kitab At tahafutl falasifah. Namun
secara garis besar menurut beliau: eksistensi alam semesta ini tak luput dari
iradah allah sebagai otoritas mutlak. Ini sedikit berbeda dengan yang dipahami
para filsuf yunani.
4) Al-ilahiyyah (metafisika): Disini banyak sekali
kesalahan para filsuf, seabagaiamana yang telah dijelaskan dalam kitab beliau
at tahaft, ada 20 kesalahan yang dilakukan oleh filsuf, namun ada tiga
permaslahan yang menjadi poin mendasarnya.
5) As-siyasiyyah (administrasi): semua pendapatnya
kembali pada kearifan lingkungan, sosial masyarakat,manageman dalam negara,
dsb.. menurut beliau ilmu as siyasiyah ini merujuk pada kitab samawiyyah dan
sabda anbiya’.
6) Al-khuluqiyyah (etika): semua pendapatnya berkutat
pada penjelasan sifat terpuji dan budi pekerti, cara memperbaiki akhlaq, dsb.
Beliau katakan: ilmu ini banyak mengadopsi perkataan kaum sufisme, sabda
anbiya’. Lalu memadukannya dengan metode filsafat mereka[14].
Epilog
Dari sedikit kajian diatas, bisa kita simpulkan bahwa tak semua
ilmu filsafat itu salah bahkan sesat, terbukti al-Ghazali sendiri tidak menolak
selain metafisika dan fisika. Setidaknya ini bisa menjadi langkah tepat bagi
kita, agar kita tidak cepat menilai sesuatu sebelum mengetahui substansi setiap
masalah. Disamping itu pula, jika kita tak tau akan substansinya, tak menutup
kemungkinan kita malah bisa jatuh kedalam kesesatan tanpa kita sadari. Seperti
sair mengatakan:
عرفــتُ
الشّـــــــرَّ لا للشّر *
لــــكــــن لــــتــــوَقّــيـــه
ومــــن لا
يــعرف الــــشّــ *
ــرّ من الـناسِ يـــقَـع فيه
Selanjutnya, kami berharap semoga kristalilasi pikiran ini dapat
bermanfaat fiddiny wad dunya,
baik bagi penulis dan uadiensi pada khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Akhiron, wal afwu minkum.. Wassalamualaikum.. wr.. wb.
* Penulis
adalah mahasiswa semester 4 (Mustawa 2) Fakultas Syariah, Universitas
Al-Ahgaff, Tarim-Hadramaut, Yaman, asal Jawa Tengah
[1] Makalah Pengantar ilmu filsafat, prof. dr. hasan langgulung.
[2] Makalah pengantar ilmu filsafat islam
[3] Majid fakhri, Sejarah ilmu filsafat islam, hal 15-20.
[4] Makalah pengantar ilmu filsafat islam.
[5] Al ghozaliy, Maqosidul falasifah, cetak: mathba’ah addhibah,
hal 11.
[6] Al ghozaliy, At-tahafutul falasifah, tahqiqi dr. sulaiman
dunnya, hal 74.
[7] Al ghozali, tahafutul falasifah, tahqiq Dr. sulaiman dunnya,
hal 88.
[8] Ibid, hal 90-91.
[9] Ibid, hal 96.
[10] Ibid, hal 131.
[11] Ibid, lihat muqoddim cetakan pertama oleh dr. sulaiman dunnya,
hal 66.
[12] Al ghozali, munqid minadholal (maktabah syamilah).
[13] Ibid.
[14] Ibid, (maktabah syamilah).
0 Komentar