MULTIFUNGSI USHUL
FIQH
(Kajian Pembuka
Diskusi Dirasat Ushuliyah)
Oleh; Mohammad Roby
Uzt
A. Potret Ushul Fiqh
Ushul fiqh (Islamic legal theory) telah dan akan selalu
banyak mewarnai khazanah intelektual dalam peradaban Islam. Sejak abad pertama
Hijriah, ushul fiqh telah memainkan peran dalam mereduksi berbagai hukum yang
dibutuhkan masyarakat Muslim pertama. Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Keduanya
tidak bisa dipisah, sebab dari ushul fiqhlah lahir produk fiqh. Sayangnya, pada
permulaan kurun pertama, ushul fiqh belum terkodifikasi sebagaimana
disiplin-disiplin ilmu Islam lainnya.
Adalah sebuah pandangan yang diterima secara umum bahwa kitab
ar-Risalah merepresentasikan usaha awal untuk mengkompromikan metodologi hukum
Islam yang berkembang antara aliran rasionalis di Irak dengan aliran
tradisionalis di Hijaz. Melalui karya besarnya ini, Syafi’i (w. 204 H)
mempunyai jasa sebagai “Guru Arsitek” ilmu ushul fiqh.[1][1] Tidak heran
jika ar-Risalah merupakan model/kiblat bagi ahli-ahli ushul fiqh dan para
teoretisi yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya.
Dengan ar-Risalahnya, Syafi’i berupaya merekonsiliasi secara
universal doktrin-doktrin kaum rasionalis dan tradisionalis. Sebuah proyek
besar yang terus berlanjut sepeninggal Syafi’i hingga keberhasilannya mulai
nampak sangat jelas pada permulaan abad keempat di tangan Ibn Surayj (w. 306 H)
bersama para muridnya, seperti al Qaffal al Shashi (w. 336 H), Ibn al Qash (w.
336 H), dan Abu Bakr as-Sayrafi (w. 330 H).[2][2]
Dari catatan sejarah tersebut, kita bisa melihat betapa besar
fungsi dan peran ushul fiqh dalam meminmalisir ruang khilaf antar Mujtahid
dalam pelbagai problematika fiqh umumnya, dan terkhusus dalam mengkompromikan
antara aliran rasionalis di Irak dengan aliran tradisionalis di Hijaz.[3][3]
Nah, berangkat dari potret masa lalu, penulis akan sedikit
memaparkan multifungsi ushul fiqh melalui coretan sederhana ini. Tanpa
mengetahui fungsi, ujar al Amidy (w. 631 H), waktu-waktu yang kita habiskan
untuk menelan ushul fiqh menjadi sia-sia[4][4];
bagai berjalan jauh tanpa tujuan. Sebaliknya, dengan mengetahui multifungsi
ini, kita tidak akan gagap dalam berdialog dengan teks-teks Syariat dan dengan
cakap menghidupkan jiwa ushul fiqh dari dunia kertas menuju pentas dunia nyata.
Namun, sebelum pemaparan multifungsi ini, sebagai pembuka, penulis
akan menjelaskan terlebih dahulu struktur ilmu ushul fiqh dari berbagai lintas
generasi para sarjananya. Lalu, sebagai penutup, akan dipaparkan konklusi dan
respon singkat terkait relevansi peran ushul fiqh terhadap promlematika
keagamaan yang tengah mewarnai hari-hari kita saat ini.
A.
Struktur Ushul Fiqh
Tidak ada perbedaan signifkan diantara para teoretisi hukum Islam
saat mendefinisikan ushul fiqh. Definisi yang cukup kompleks dari beberapa yang
termaktub dalam literatur adalah definisinya Zakarya Al Anshary (w. 925 H).
Dalam Lubb al Ushul, ia mendefinisikan ushul fiqh sebagai pelbagai dalil
universal fiqh, dan berbagai konsep memahami setiap parsialnya, serta tentang
kualitas yang memahaminya.[5][5]
Jadi, menurut Syaikh al Islam, struktur ushul fiqh terdiri dari tiga bagian
utuma; berbagai sumber fiqh/hukum Islam, metodologinya, dan kriteria seorang
mujtahid.
Berbeda dengan Zakarya, al Ghazaly (w. 505 H) membelah ushul fiqh
menjadi empat bagian. Selain tiga bagian utama diatas, al Ghazaly menambahkan
satu lagi, yaitu hukum. Mengkaji ushul fiqh, menurut al Ghazaly, akan lebih
baik dimulai dari term hukum. Karena bagaimanapun, hukumlah yang menjadi objek
utama ushul fiqh. Hukum merupakan produk/hasil yang dicari dari ushul fiqh.[6][6]
Namun, dari empaat bagian ini, manakah yang
menjadi inti kajian ushul fiqh? Muhammad Sa’id al Bouthy mengungkapkan, bahwa
pusat kajian ushul fiqh terletak pada konsep/metodologi memahami berbagai dalil
hukum. Karena fokus pada metodologi inilah, ushul fiqh dikenal sebagai
kaidah-kaidah menafsiri teks-teks syariah (Qawa’id tafsir al nushush, red).
Menurut al Bouthy, keseluruhan kaidah itu bermuara pada dua segmen:
a.
Al Dilalat (indikasi tekstual),
seperti term ‘am-khas, muhkam-mufassar, nash-dhahir-khafy, musykil-mujmal,
haqiqat-majaz, khabar-insya`, mafhum-manthuq, dan beberapa dasar lainnya,
yang menjelaskan kaitan teks/lafadz dengan maknanya.
b.
Al Bayan (klarifikasi
penjelasan), yaitu melacak makna yang dikehendaki dari sebuah teks ketika
terjadi kontradiksi-kontradiksi, seperti kontradiksi antara ditemukannya lafadz
mutlak dengan lafadz yang disifati/muqayyad dalm satu permasalahan
hukum.[7][7]
Bila kita cermati penjelasan Al Bouthy ini, dan bahkan mayoritas
–jika tidak seluruh- karya uhsul fiqh sebelum al Syathiby (w. 790 H), semuanya
masih berkutat pada gramatika bahasa Arab (ilm lisan al Arab). Padahal,
tulis Abdullah Darraz, untuk menggali hukum dari sumbernya kita tidak boleh
mengabaikan maqashid syar’iyyah. Memang ulama-ulama ushul dahulu telah
membahas maqashid syar’iyyah ini sebagai salah satu bagian dari ilmu
ushul fiqh. Hanya saja pembahasan mereka begitu singkat dan cenderung kurang
mewakili.[8][8]
Dengan corak metodologi al Syathiby dalam al-Muwafaqatnya, yang
mencoba menggabungkan antara teori-teori ushul dengan konsep maqashid
syar’iyyah, Musthafa Said al Khin berani mengangkat corak ini sebagai
aliran ushul fiqh tersendiri dengan nama Syathibyyah, di luar Mutakallimin,
Fuqaha’, al-Jami’, dan Takhrijul Furu’ ‘alal Ushul.[9][9]
Jadi, bila disimpulkan dari keterangan panjang diatas, yang paling
penting dari empat bagian struktur ushul fiqh adalah metodologi/konsep memahami
teks-teks syariah, yang tidak hanya terikat pada gramatikal bahasa, tapi juga
harus mempertimbangkan unsur maqashid syariyyah; sehingga pemahaman teks
yang dihasilkan akan kembali segar/fresh, lebih hidup, lebih menyentuh
pada konteks, tidak lagi rigid dan kurang membumi.
A.
Multifungsi Ushul Fiqh
Dari potret dan struktur ushul fiqh diatas serta selama kita
mempelajari ushul, mungkin yang terbenak dalam pikiran adalah fungsi ushul
sebenarnya hanya sebagai metode menggali hukum, tidak multy. Bila sekedar
menggali hukum, untuk apa kita mempelajarinya? Toh, setelah belajar, tetap saja
status kita tidak naik dari muqallid menuju mujtahid. Bahkan, tidak
hanya kita pada abad 15 H saja, mayoritas para ulama paska abad dua hijriah
juga sama. Meski tak serta merta menjadi mujtahid, nyatanya mengapa mereka
tetap mempelajari ushul fiqh?
Memang fungsi utama ushul fiqh adalah agar mampu menggali hukum
dengan benar dari sumber-sumbernya. Namun, disini penulis perlu tegaskan bahwa
ushul fiqh itu multifungsi. Selain fungsi tersebut, masih banyak fungsi yang
mampu dimainkan ushul fiqh dari masa ke masa, hingga detik ini.
Berikut adalah beberapa fungsi ushul fiqh –selain untuk istinbath-
yang bisa kita petik saat mempelajarinya[10][10];
1- Menuntaskan pertikaian dalam furu’iyyat fiqhiyyah (masalah-masalah
parsial fiqh) dan juga banyak pertikaian ideologis. Setelah meyakini bahwa
konsep dasar atau landasan utamanya adalah sebuah titik kesepakatan antar dua
belah pihak yang berbeda, maka kesepakatan mereka atas konsep/landasan tersebut
akan menyelasaikan pertikaian dalam beberapa cabang yang bertumpu pada konsep
dasar/landasan ini.
Contoh sederhana
atas fungsi besar ini adalah lenyapnya kebanyakan aliran Islam yang keluar dari
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mu’tazilah, murji`ah, jahmiyah, mujassimah, dan masih
banyak lagi aliran ideologis Islam yang dulu begitu menyebar, tapi lambat laun
terkikis. Semua itu tidak terlepas dari peran ushul fiqh, sebagai standart
metodologi mencari kebenaran.
2- Merubah perbedaan akut yang saling bertentangan menjadi
perbedaan yang saling mengisi dan bisa dimaklumi antar pihak yang berselisih.
Fungsi ini berperan saat ternyata perbedaan itu, seletah dianalisa, memang
bertumpu pada kaidah ushul yang masih diperselisihkan. Karena pijakannya berada
pada taraf dhanny dan diperselisihkan, sudah tentu hasilnya pun akan
berbeda. Dari sini, masing-masing pihak yang berselisih akan bisa saling
memaklumi dan menghormati. Fungsi ini bisa Anda temukan dalam banyak sekali
masalah fiqh. Anda bisa juga menelaah kitab Atsar al Ikhtilaf fi al Qawa’id
al Ushuliyah fi Ikhtilaf al Fuqaha` karya Musthafa Said al Khin.
3- Melacak pemikiran yang berasal hanya dari hawa nafsu dan fanatik
buta. Disini, menurut al Bouthy, sebenarnya masih banyak sekali perselisihan
yang menyebabkan permusuhan antar sesama, padahal perselisihan ini tidak
memiliki dasar-dasar dari kaidah khilafiah dalam ushul fiqh.
Larangan untuk
mentakwili ayat as-Shifat dan menganggap sesat pelakunya, semisal. Pemikiran
ini bila dilacak sama sekali tidak bertendensi. Bahkan, bertentangan dengan
kaidah bahasa Arab, yang telah disepakati seluruh pakarnya; “Idza katsura al
Majaz, lahiqa al Haqiqat.” Kaidah ini jelas mempersilahkan kita untuk
membuka pintu takwil bila memang makna majaz seringkali terpakai.
Dengan mengembangkan ushul fiqh, kita akan
mampu mengukur kebenaran dan kebatilan yang bersembunyi dalam sebuah pemikiran.
A.
Konklusi dan Relevansi
Dan, sebagai akhir dari multifungsi, ketiga fungsi ini bisa
menjelma sebagai sebuah metodologi berfikir (manhajul fikri) kita
sebagai umat Islam dalam setiap hal yang terkait dengan kehidupan beragama.
Dengan adanya metodologi yang jelas seperti ushul fiqh ini, kita bisa
menghargai sebuah perbedaan, bila tak mampu menyatukannya. Bahkan, kita pun
mampu menilai kesalahan, jika bukan kesesatan, sebuah pemikiran.
Setelah terpapar semua, kira-kira manakah fungsi ushul fiqh yang
telah kita rasakan? Sudahkah kita dalam keseharian mengaktifkan ushul fiqh
sebagaimana mestinya? Memang tidak bisa dipungkiri, betapa sekarang banyak
gejala ironis yang melanda hari-hari kita. Seiring lahirnya berbagai
masalah-masalah baru kehidupan yang membutuhkan status hukum dan
penyelesaiannya secara tepat, kualitas kita sebagai pengkaji ushul semakin
melemah.
Kemampuan ber-”istinbath” lemah, jika tidak dikatakan tidak
bisa. Dalam prakteknya, kini perselisihan dan pertikaian semakin mewaha dan ushul
fiqh justru dimanfaatkan sebagai alat legalitasnya, menambah runyam
permasalahan. Tidak lagi mendamaikan.
Meski demikian, penulis ingin menutup makalah ini dengan sebuah
keyakian, bahwa semua krisis yang melanda umat Islam sekarang semakin
memperjelas bahwa betapa ushul fiqh kini semakin dibutuhkan! Tidak hanya
sekedar dikaji di bangku kelas, tapi kita hidupkan kembali untuk menjawab
setiap problem keberagamaan kita. Wallahu A’lam ***
Selasa,
08 November 2011
FIQH, USHUL FIQH KOMPLEKSITAS DAN FUNGSINYA
I.
PENDAHULUAN
Agama (al-dien) adalah ide murni,
atau sistem ide dan kepercayaan yang bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan
ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni
itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak
bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi)
yang seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan
masyarakat. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah
masyarakat. Karena itu, Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat
diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Salah satu pemikiran Agama adalah Ushul
Fiqh.
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu
menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat.
Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah
Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan
menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman
Rosulullah. Maka para ulama ahli ushul fiqh menyusun kaidah sesuai dengan
gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh ulama
penyusun ilmu fiqh.
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah.
Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan Hadits,
Ijma,
Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil
hukum. Usaha Imam Syafi'i ini
merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqh yang kemudian dilanjutkan oleh para
ahli ushul fiqh sesudahnya. Para ulama ushul fiqh dalam pembahasannya mengenai
ushul fiqh tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan
pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu golongan
Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.[1]
II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ushul Fiqh
Kalimat ushul fiqh terdiri dari
dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Kata Ushul jamak dari ashlun,
yang berarti pangkal, pokok, dasar dan lain sebagainya. Sedangkan fiqh, secara
bahasa berarti pemahaman.[2]
Secara istilah, fiqh adalah “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang
terperinci”.
Jumhur ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya sebagai berikut:
القواعد الّتي يتوصّل بها الي استنباط
الاحكام الشّرعيّة من الادلّة
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian
syara’ dari dalil-dalilnya.”
Sedangkan menurut Abul Wahab Khalaf,
seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan:
العلم
بالقواعد والبحوث الّتى يتوصّل بها الى استفادة الاحكام الشّرعيّة العمليّة من
ادلّتها التّفصيليّة. او مجموعة القواعد والبحوث الّتى يتوصّل بها الى استفادة
الاحكام الشّرعيّة العمليّة من ادلّتها التّفصيليّة.
Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang
terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’
mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.[3]
Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya
secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil dari
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi dasar penetapan
hukum Islam. Inti ushul fiqh adalah seperangkat kaidah (metode berpikir) guna
mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari
dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Pengetahuan fiqh adalah formulasi dari
nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang
disusun dalam pengetahuan ushul fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama
sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi,
namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para ulama Mujtahid)
gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan
cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi
pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istilah yang digunakan oleh para
ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai
ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum
syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini
digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum, kadang-kadang untuk
menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah
Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum
Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula
peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan
hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
Jadi, ilmu Ushul Fiqh pada hakekatnya
adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang memuat prosedur dan teknik
bagaimana hukum syari’at dapat dirumuskan untuk pedoman hidup dan bagaimana
jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
2. Obyek Ushul Fiqh
Pada intinya obyek kajian ilmu Ushul
Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath dan sistem
mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum tentang
perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci. Lebih jelasnya ruang
lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a. Pengenalan
terhadap istilah-istilah teknis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan
syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dan lain sebagainya.
b. Dalil-dalil
hukum Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah
mursalah- berikut penetapan rangking kehujjahan masing-masing dalil.
c. Penjelasan
tentang cara/metode “bagaimana menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang
dimaksud terdiri atas qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari
nash (al-Quran dan Hadits) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping
menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d. Mujtahid,
ijtihad, fatwa, taklid dll.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan
Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan
sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan
kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan
berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing
dalil itu.
Bertolak dari pengertian ushul fiqih,
maka bahasan pokok ushul fiqih itu tentang:
a. Dalil-dalil
atau sumber hukum syara’
b. Hukum-hukum
syara’ yang terkandung dalam dalil itu
c. Kaidah-kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dan dalil atau sumber yang
mengandungnya.[4]
Dalam membicarakan sumber hukum
dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara
menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang
menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini
memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian dibahas mengenai
tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan
hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Topik-topik dan ruang lingkup yang
dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
|
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi
(wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab,
syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
|
b.
|
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum
fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya
atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan
sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi)
apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya
atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
|
d.
|
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini
meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah
terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah,
yang kedua disebut awarid samawiyah.
|
e.
|
Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna
zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am
dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
|
f.
|
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid;
meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan
ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan
Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus
shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah,
maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
|
h.
|
Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u,
illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul
manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan
masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
|
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam
mempelajari Ushul Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan
proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi
Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti
ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq,
ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu
tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak
akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan
dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang
sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan
mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan
dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih
dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan
sekarang atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian,
orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang
ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu. Dengan
Ushul Fiqh :
-
|
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan
peradaban umat manusia.
|
-
|
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
|
-
|
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi
umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti
kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
|
-
|
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid
zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman
dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau
mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau
hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya, prosedur mana
yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
|
Dengan demikian orang akan terhindar dari
taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi'
yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang
dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu
Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan
pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi
dan kemajuan dalam segala bidang. Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi
Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya
secara keseluruhan.[5]
3. Fungsi Ushul Fiqh
Secara singkat fungsi mendasar ilmu ushul
fiqh adalah menetapkan suatu hukum baru harus mempunyai dasar dan harus ada
sistem metodenya. Adapun fungsi Ushul Fiqh secara umum antara lain:
a. Perkembangan
zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban
kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau
oleh rumusan fiqh yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya
dibutuhkan cara praktis dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan
perangkat metodologisnya.
b. Untuk
melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab, lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur metodologis
teknik penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
c. Untuk
menganalisa dan menyeleksi hukum-hukum fiqh yang sudah ada, memetakan formula
hukum fiqh manakah yang boleh berubah oleh karena perubahan zaman dan manakah
hukum fiqh yang tidak boleh berubah.
d. Diharapkan
dengan adanya ilmu ushul fiqh dapat memperkecil gejala pertentangan umat Islam
akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka
kemungkinan menetralisir ikhtilaf negatif tersebut.
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu
ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil
syara’ yang bersifat terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang
bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta
bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang
terkandung didalamnya.[6]
4. Hubungan
Ushul Fiqh dengan Fiqh
Ushul Fiqh sebagai ilmu, fungsi kerjanya
merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum fiqh, yang dihasilkan dari
dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara Ushul
Fiqh dengan fiqh, antara lain:
a. Ushul
Fiqh ibarat rantai penghubung antara fiqh dengan sumbernya.
b. Ushul
Fiqh merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqh, agar para
pakar fiqh terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqh.
c. Ushul
Fiqh merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqh yang telah dirintis oleh
ulama generasi pendahulu.[7]
Ushul Fiqh merupakan timbangan atau
ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil hukum,
sementara objek fikihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya.
Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun
konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqh memandang dalil dari sisi cara
penunjukkan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan memandang dalil hanya sebagai
rujukan.[8]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqh sebagai buah
yang lahir dari pohon tersebut.
5. Kompleksitas
Fiqh dan Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu, pada
hakikatnya merupakan pengejawantahan dari pemahaman yang beragam dan hasil
ijtihad para ulama yang memiliki kompetensi yang berbeda. Sehingga munculnya
berbagai paham dan aliran dalam hal-hal furu’iyyah menjadi niscaya adanya.
Berbeda dengan zaman Nabi yang segala macam permasalahn langsung kembali kepada
beliau, zaman sekarang dengan berbagai permasalahan baru yang muncul dan
semakin kompleks, menjadikan ilmu fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu yang luas
dan beragam. Keragaman ini sebenarnya tidaklah bermasalah selama bemuara kepada
Nash Sharih. Namun pada kenyataannya terutama di kalangan awam banyak terjadi
perbedaan masalah furu’iyyah yang berujung pada pertentangan bahkan permusuhan.
Ini mrupakan sebuah fenomena yang perlu dicermati lebih mendalam, mengingat
permasalahan perbedaan madzhab menjadi masalah utama yang memiliki potensi
besar untuk memecah belah umat.
Kasus-kasus yang kerap kali terjadi antar
ormas-ormas Islam biasanya terjadi pada hal-hal ibadah furu’iyyah, seperti
perbedaan jumlah raka’at tarawih, qunut, pelaksanaan shalat jum’at dan lain
sebagainya yang hampir semuanya terletak pada tataran praktis dalam beribadah.
Bila dirunut akar permasalahannya maka akan ditemukan bahwa penyebab utamanya adalah
budaya taqlid a’maa yaitu budaya mencontoh guru yang dalam hal ini Kyai atau
ustadz yang memiliki karisma dan wibawa di tengah masyarakat yang setiap
ucapannya menjadi dalil hukum bagi masyarakat awam.
Fiqh pada periode ini bisa dikatakan
telah memasuki periode taqlid, dimana ajaran-ajaran fiqh telah tersusun secara
sistematis dalam kitab-kitab fiqh sesuai dengan aliran berpikir madzhab
masing-masing. Dari satu segi hal ini berdampak positif pada kemudahan umat
dalam beribadah karena semua permasalahan fiqh telah mereka temukan dalam
kitab-kitab fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Namun dari segi lain,
terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang merasa
tidak perlu lagi berpikir tentang hukum, sebab semuanya sudah tersedia
jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas
pada usaha pengembangan pensyarahan dan perincian kitab fiqh dari imam mujtahid
yang terdahulu dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru. Seiring
dengan perkembangan zaman, tuntutan ijtihad sebenarnya tidak pernah berhenti,
sehingga kitab-kitab fiqh yang pada zamannya memiliki aktualitas yang tinggi,
menjadi berkurang aktualitasnya seiring dengan perkembangan zaman yang semakin
kompleks.[9]
Ushul fiqh sebagai sebuah metode menjadi
jawaban atas berbagai perbedaan yang mengakibatkan pertentangan di masyarakat.
Pada tingkatan atau level tertentu, pembelajaran ushul fiqh menjadi hal yang
penting adanya. Pengetahuan dan pemahaman ushul fiqh menjadi jalan untuk
terbukanya kembali pintu ijtihad. Namun sebagaimana fiqh, ushul fiqh pun
memiliki aliran-aliran karena para ulama tidak
selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian dan
dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal ini
mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran
Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran
ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu
kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik
naqliy (dengan nash) maupun ‘aqliy(dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan
hukum furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai
kaidah dengan hukum-hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini
diikuti oleh para ulama dari golonganMu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran
ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari
imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan
kepada hukum-hukum furu ‘ yang diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat
kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam
mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan
hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga
persesuaian antara kaidah dengan hukum furu’ yang diterima dari imam-imam
mereka.[10]
Terlepas dari berbagai
aliran dalam ushul fiqh di atas, sebagaimana fungsi dari ushul fiqh yang telah
dipaparkan, dengan ushul fiqh orang akan memahami fiqh dengan lebih baik
sehingga membuka pintu ijtihad atau minimal seorang muslim akan menjadi
muttabi’ bukannya muqallid, yang pada akhirnya pertentangan dan permusuhan
antar umat islam yang berselisih faham dalam hal furu’iyyah dapat
diminimalisir.
6. Pembelajaran
Fiqh dan Ushul Fiqh
Belajar merupakan kegiatan aktif siswa
dalam mmbangun makna dan pemahaman. Dengan demikian guru perlu memberikan
dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan.
Tanggung jawab belajar berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung
jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi dan tanggung
jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam mengembangkan
kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa prinsip kegiatan
pembelajaran.
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan
suatu proses interaksi antara guru dengan siswa, baik interaksi secara langsung
maupun secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media
pembelajaran. Didasari oleh adanya perbedaan interaksi tersebut, maka kegiatan
pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pola pembelajaran.[11]
Diantara prinsip dan pola kegiatan
pembelajaran yang dianggap lebih relevan pada sebagian materi pembelajaran fiqh
adalah belajar dengan melakukan (learning by doing). Melakukan aktifitas
adalah bentuk pernyataan diri anak. Pada hakikatnya anak belajar sambil
melakukan aktifitas. Karena itu, siswa perlu diberi kesempatan untuk
melakukan kegiatan nyata yang melibatkan dirinya. Dengan demikian, apa yang
diperoleh siswa tidak akan mudah dilupakan. Pengetahuan tersebut akan tertanam
dalam hati sanubari dan pikiran siswa karena ia belajar secara aktif. Siswa
akan memperoleh harga diri dan kegembiraan kalau diberi kesempatan menyalurkan
kemampuan dan melihat hasil kerjanya.
Dalam pembelajaran fiqh, mengajarkan
materi shalat dengan praktek lebih efektif dan berkesan bagi siswa ketimbang
dengan mengharuskan siswa untuk menghafal kaifiyah shalat. Tetapi, ada hal-hal
lain juga yang perlu dihafal misalnya bacaan shalat. Demikian pula dalam
pembelajaran manasik haji, tata cara pembagian harta warisan, pengurusan
jenazah, kompetensi dasarnya akan tercapai secara efektif apabila ditempuh
dengan siswa melakukannya (mempraktekkannya).
III.
SIMPULAN
Ushul fiqh merupakan khazanah kekayaan
ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model
keagamaan. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada,
sebab ushul fiqh dianggap sebagai penuntun fiqih yang merupakan jawaban bagi
kehidupan. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, agar dapat
memanfaatkan ilmu ini, harus mengetahui jawaban apa yang disampaikan oleh ilmu
ini, yang akan timbul setelah mengajukan pertanyaan.
Dalam pembelajaran fiqh di sekolah, guru
harus dapat memberikan pola dan metode pembelajaran yang kreatif dan inovatif
agar pelajaran fiqh lebih mudah dipahami oleh peserta didik.
0 Komentar