Formulasi Distribusi Zakat Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan
Oleh : Hamidi Haris*
Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama komprehensip yang
senantiasa memberikan solusi pada semua umat manusia baik individu maupun
kelompok, sehingga islam tidak akan membiarkan
para pemeluknya hidup tanpa arah dan tujuan. Oleh karenaya, agama islam
datang dengan tujuan untuk menyuguhkan konsep konsep yang sesuai dengan tabiat
dan karakteristik manusia.
Pada era kekinian, kehidupan umat selalu
dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks yang merembet terhadap semua
aspek dan sektor kehidupan manusia, dan hal yang paling serius adalah masalah
ekonomi. Masalah masalah ekonomi telah banyak menguras tenaga dan pikiran
manusia baik dalam tingkat keluarga, nasional dan bahkan hingga taraf
internasional. Malthus ( 1809 - 1882 M ) misalnya, seorang tokoh ekonomi asal
inggris melihat bahwa mahluk hidup ini adalah mahluk yang selalu bersaing demi
mempertahankan hidupnya. Jelasnya, dia beranggapan bahwa mahluk hidup di muka
bumi ini selalu mengalami pertumbuhan, sementara persediaan makanan sangat terbatas
sehingga peperangan, penyakit dan busung lapar dianggap sebagai jalan keluar
dari persoalan ini.
Akal sehat tentunya akan menolak dengan konsep
tersebut; karena seyogyanya hal yang sedemikian bukanlah sebuah solusi,
terlebih agama yang berada di luar jangkauan akal manusia akan pasti bertolak
belakang dengan teori Malthus tersebut.
Syariat Islam
Menjawab Tantangan Zaman
Seperti yang telah diuraikan di atas, syariat
islam akan terus memberikan jawaban secara tuntas terhadap masalah masalah yang
dihadapi umat manusia termasuk masalah ekonomi. Sedikit kita persempit masalah
ini menuju ranah tanah air Indonesia, dimana Indonesia termasuk negara yang
memiliki jumlah populasi penduduk yang sangat tinggi dari tahun ketahun,
ditambah lagi dengan keberadaan para pelaku eonomi yang sering mengedepankan
kepentingan pribadinya sehingga nampaklah fenomena fenomena di kalangan
masyarakat yang ditimbulkan oleh sistem perekonomian yang tidak teratur, contoh
kongkritnya adalah pengangguran dan angka kemiskinan yang menyebar dimana mana,
mulai dari pelosok Desa hingga jantung ibu kota pun tak luput dari pandangan
tersebut.
Lalu setelah masalah itu nampak di depan mata
kita, bagaimana jalan keluarnya? Dan siapa yang akan bertanggung jawab?. Dalam
Al Qur’an telah disinggung berkali kali ayat yang menerangkan tentang perintah
untuk mengeluarkan zakat[1],
sehingga kalau diteliti lebih jauh lagi ayat ayat yang seperti itu disinyalir
kuat sebagai bentuk ibadah vertikal dan horizontal.
Ketika zakat merupakan perintah Allah swt yang
wajib ditaati oleh umat islam, maka jelaslah zakat merupakan ibadah vertikal
dan begitu pula zakat sebagai sebuah kewajiban kepada sesama manusia. Yang bisa
dilihat secara langsung oleh kasat mata adalah hal yang seperti ini merupakan
implementasi perintah Allah - yang maha
kuasa - yang senantiasa berdampak pada kemaslahatan umat, baik di dunia maupun
di akhirat kelak. Dari nash Al Qur’an yang disebutkan, dapat dipahami bahwa tujuan
pertama disyariatkannya zakat adalah membantu fakir miskin dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya; karena sifat keadaan yang seperti inilah kefakiran dan
kemiskinan menjadi sebab ia berhak mendapatkan harta zakat, yaitu sebagai
mustahik. Dengan kata lain, zakat dapat menjadi sarana pemerataan pendapatan
untuk mencapai keadilan sosial.[2]
Zakat Merupakan
Angin Segar untuk Meningkatkan Taraf Kehidupan Umat
Allah berfirman dalam surat al-taubat ayat
(60):
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
Pada ayat ini kita dapat melihat secara
langsung ada delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat),
namun secara singkat objek penulis hanya tertuju pada golongan pertama dan
kedua saja.
Fakir dan miskin sekalipun dalam kontek
kehidupan sosial sering kali dianggap memiliki makna yang sama namun pada
hakikatnya kedua kata itu mempunyai substansi yang berbeda, terbukti adanya
penggunaan kosa kata yang berbeda dalam ayat itu, dan sangat mustahil dalam Al
Qu’an terdapat pengulangan kata yang hanya memberikan makna yang sama. Imam Al
– nawawy - dalam minhaj al-thalibin - mendefinisikan kedua kata itu sebagai
berikut: fakir berarti orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhannya, sementara miskin memunyai makna orang yang mempunyai
harta atau pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya hanya saja tidak mencukupi
secara keseluruhan[3].
Namun pada realitanya kedua golongan itu dalam kontek kefakiran dan kemiskinan
merupakan masalah masalah yang cukup kronis yang sedang melanda bangsa kita.
Hal yang menjadi acuan dari ayat diatas jika
dilirik dari penggunaan huruf jar pada empat golongan pertama menggunakan huruf
jar “ lam ” yang mengindikasikan adanya kepemelikan secara utuh ( li al-mulk )
yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain; karena mereka sudah memiliki
hak paten terhadap harta yang dapatkan itu. Berbeda halnya pada empat yang
terakhir dengan menggunakan huruf jar “ fi ” ( li al-dzorfiyah ) yang hanya
memberikan pemahaman bahwa empat golongan terakhir ini berhak menerima zakat
namun makna kepemilikannya tidak sama dengan empat golongan yang pertama,
akibatnya bisa dilakukan pengambilan ulang[4],
seperti misalnya mengambil hak zakat melebihi jumlah hutang yang wajib dibayar
oleh gharim.[5]
Dari deskripsi di atas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa penyerahan zakat kepada orang fakir dan miskin diharapkan
mampu mengatasi kemiskinan di tanah air karena keduanya memiliki kewenangan
penuh terhadap harta zakat yang mereka dapatkan. Di sisi lain pemerintah -
dalam hal ini badan yang menangani urusan zakat - hanya berkewajiban
mengarahkan untuk menjadikan harta tersebut pada jalan yang dapat memungkinkan
untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih baik, seperti halnya membangun usaha
kerja. Hal ini jelas tidak dimiliki oleh empat kelompok terakhir; karena mereka hanya berhak mendapat
harta zakat dalam situasi yang berbeda dengan empat kelompok yang pertama. Maka
jelaslah pengaruh ta’bir al-ilahi ( linguistik Al Qur’an ) dalam ayat yang
terkemuka dalam penanganan persoalan kemiskinan. karena keduanya (orang fakir
& miskin) sangat berhak untuk mendapatkan pembagian zakat maka badan
pengelola zakat berkewajiban untuk memberikan harta zakat itu sesuai dengan
skill yang mereka miliki agar memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka untuk selamanya, satu contoh misalnya mereka yang mempunyai kemampuan
untuk berdagang maka diberikan kepadanya sejumlah nominal yang sekiranya bisa
dijadikan modal usaha sehingga dengan usaha tersebut mereka bisa mendapatkan
laba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[6]
Begitu pula mereka yang memiliki keahlian dalam teknik mesin ataupun bidang
ilmu computer. Kelebihan yang seperti ini sama sekali tidak ditemukan pada
huruf jar “ fi ” ( al-dzorfiyah ) yaitu empat golongan terakhir dalam ayat
tersebut, sekalipun menurut Az -
zamakhsyari bahwa keempat golongan terakhir itu lebih berhak untuk mendapatkan
harta zakat mengingat adanya adanya anjuran pembebasan perbudakan pada budak
Mukatab, pembebasan beban hutang pada Gharim dan alasan alasan lain yang
terdapat pada Mujahid dan orang yang melakukan perjalanan di jalan allah.[7]
Hal yang sedemikian masih merembet pada
pentingnya untuk membangun lembaga khusus untuk penanganan harta zakat seperti
badan amil zakat infak dan shadaqah ( BAZIS ) agar pendistribusian harta zakat
dapat terkoordinir dengan baik sehingga tidak terjadi penyalah gunaan distribusi
zakat, seperti misalnya pemberian harta zakat kepada seorang kiyai atau
mahasiswa yang sudah memiliki kecukupan dalam memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Sudah dapat dipastikan untuk tingkat pemerintah kabupaten saja
misalnya disamping sudah ada dana khusus untuk penyantunan fakir miskin, jika
konsep al-mulk yang tersirat dalam huruf jar “ lam ” diperan aktifkan dalam
pengentasan kemiskinan.
Penutup
Dari konklusi yang didapat dari makalah ini
adalah telah dipetik dari ayat diatas sangatlah jelas adanya pengaruh yang
sangat signifikan yang ditawarkan oleh syari’at dalam mengatasi problematika
perekomian umat, tepatnya dengan ungkapan kemiskinan berarti untuk sekala
negara indonesia sekalipun yang mayoritas penduduknya beragama islam masih saja
terjangkit virus kemiskinan. Oleh karena itulah para pelaku hukum di tanah air
diharapkan mampu untuk proaktif dalam mengatasi masalah ini.
Demikianlah sedikit paparan seputar topik yang sengaja penulis
tampilkan dalam makah ini, tentunya tak lepas dari kekurangan kekurangan baik
dari sisi sistematika penyusunan, isi yang ditawarkan, referensi dan lain
sebagainya. Wallahu a’lam!
*Penulis
adalah mahasiswa semester tujuh Fakultas Syariah, Universitas Al-Ahgaff Tarim - Yaman, sekarang menjabat sebagai Ketua
I AMI Al ahgaff 2011- 2012
Rabu,
16 Nopember 2011
[1] Lihat Surat Al-Baqaraah ayat: 43 dan Surat At-Taubah ayat: 103
[2] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam;
Zakat dan Waqaf, cet ke-1 (Jakarta:UI Press, 1988) hlm 38, (dikutip oleh alif
farhan dalam makalahnya yang berjudu: fungsi zakat dalam upaya pengentasan
kemiskinan)
[3] Minhaj
a-thalibin:
[4] Mughni
al-muhtaj: 3/129
[5] I’anat
al-thalibin: 2/292
[6] Mughni
al-muhtaj: 3/139
[7] Tafsir
al-kasysayaf: 2/310
0 Komentar