Dualisme
antara Universalitas dan Historisitas Teks Agama
Oleh; Achmad
Zuhairuzzaman*)
Pendahuluan
KETIKA semakin banyak kalangan yang mempertanyakan sebatas manakah
kemampuan Fiqh Islami mengejar laju kecepatan era globlalisasi dengan
problematikanya yang semakin kompleks ini, banyak di antara sebagian pemikir
kontemporer menawarkan beberapa solusi yang cukup kontroversial dan mampu
mencuri perhatian kalangan muda nan progresif untuk kemudian menjadi
missionaris wacana-wacana pemikiran mereka. Mereka menilai kejumudan Fiqh ada
karena metodologi istinbath hukum yang terkodifikasi dalam ilmu Ushul Fiqh
tidak lagi mumpuni menelurkan produk hukum yang sesuai kebutuhan zaman,
sehingga sudah menjadi keniscayaan perlunya pembaharuan Ushul Fiqh secara aktual.
Pembaharuan yang mereka kampanyekan menurut penulis bisa disimpulkan
dalam dua gambaran; Pertama, pembaharuan secara radikal dengan mengganti corak
tranferensial (naqliyah) menjadi lebih rasional ('aqliyah),
seperti memenangkan dalil mashlahat ketika berbenturan dengan nash
al-Quran atau al-Hadits. Kedua, reaktualisasi pendapat-pendapat lemah mengenai kaidah
Ushul Fiqh yang mereka anggap kontekstual dan meninggalkan kaidah yang tekstual-literal.
Hal ini karena mereka memandang Ushul Fiqh selama ini telah memperlamban produktifitas
hukum Fiqh, karena begitu bergantungnya mayoritas ulama Ushul Fiqh pada entitas
teks dan banyak mengesampingkan atribut kontekstual-nya, termasuk sisi
historisitas-nya, seperti tergambarkan dalam perbedaan pendapat mengenai dua kaidah
yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, bagaimanakah
sebenarnya perbedaan pendapat tersebut? Apakah sebagaimana dalam anggapan
pemikir liberal? Penulis mencoba menyajikannya dalam kajian problematika dualisme
antara universalitas dan historisitas teks agama, dan mengajak para diskusan
untuk mendiskusikannya agar semakin matang dan meneliti kesalahan yang ada,
sehingga manambah pengetahuan bersama.
Kaidah Pertama: "al-'Ibrah bi 'Umum al-Lafdhi La bi Khusus al-Sabab"
Kaidah pertama ini, dan juga kaidah kedua, terdapat dalam kasus
permasalahan ketika sebuah teks yang secara semantik (ilmu dalalat al-alfadz)
menunjukkan makna umum, menjawab dengan independen (istiqlal) suatu
persoalan atau kasus yang lebih spesifik. Maka pendapat jumhur ulama
Ushul Fiqh adalah mengutamakan pemahaman dari sudut keumuman makna teks, dan
bukan hanya dari latar belakang turunnya teks tersebut (background
historis). Pendapat ini berdasarkan pada eksisnya faktor semantik (wujudul
muqtadli al-dalalah) yang menunjukkan makna umum dalam teks tersebut tanpa
ada sesuatu mani' (pencegah) yang mencegah eksistensinya. Dan selain itu
juga, tidak adanya pertentangan antara teks umum ('amm) dan sabab al-nuzul (background
historis), sehingga masih memungkinkan untuk mengaplikasikan kandungan teks secara
umum pada sabab al-nuzul maupun kasus-kasus lainnya yang serupa[1].
Hal di atas (pengaplikasian kandungan teks pada selain sabab al-nuzul)
tidak bisa dikatakan sebagai metode qiyas (analogi), karena kaidah ini
justru berdasarkan pada ilmu dalalat al-alfadz yang memang menjadi
bagian penting dari metode pemahaman teks bahasa. Oleh karena itu, sebagian
ulama berpendapat mengenai definisi dalalah wadl'iyyah lafdziyyah, ialah
pemahaman si pendengar mengenai makna yang terkandung dalam suatu lafadz[2]
(teks).
Mengenai penerjemahan kaidah ini, banyak terjadi kesalahpahamanan
sebagaimana diutarakan oleh KH. M. Sahal Mahfud dalam Fiqh Sosialnya. Beliau
menjelaskan, "Satu kaidah dalam Ushul Fiqh yang barangkali dianggap orang
sebagai menggiring Fiqh kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah
bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan
begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqh adalah
rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya
ketentuan (dalil) tersebut". Menerjemahkan "la" dengan
"bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah! "La" di
situ berarti 'bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li
al-istidrak). Jadi latarbelakang, asbab al-nuzul maupun asbab
al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Quran dan al-Hadits), tetap menjadi
pertimbangan penting dan utama. Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah
"Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm),
mujmal maupun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari
sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan."
Dengan demikian, ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus
cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Quran
maupun al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan
banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum"[3].
Dan sebagaimana diutarakan olah Mbah Sahal di atas, sabab al-nuzul
memang masih menjadi pertimbangan. Hal ini terbukti dalam kasus larangan
pembunuhan terhadap wanita kafir dan anak-anak kafir, yang mana keumuman teks
larangan tersebut oleh sebagian ulama (Syafi'iyyah) dikhususkan dengan sabab
al-nuzul, yaitu pelarangan tersebut ditetapkan oleh Rasulullah saw pada
waktu Beliau saw melihat seorang wanita terbunuh dalam salah satu peperangan. Maka,
proses spesifikasi (takhshish) tersebut menyimpulkan ketentuan hukum
bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada wanita harbiyyat, dan tidak
mencakup murtaddah[4].
Namun ada pertanyaan yang mungkin bisa kita bahas pada diskusi kali
ini, yaitu sebatas manakah sabab al-nuzul menjadi pertimbangan yang kuat
dan mampu menjadi mukhosshish terhadap teks umum?
Kaidah Kedua: "al-'Ibrah bi khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Kaidah yang kedua ini adalah pendapat dari Abu Tsaur, al-Muzanny,
al-Daqqaq dan al-Qoffal dari kalangan Syafi'iyyah, dan juga dinukil dari Imam
Malik ra[5].
Tendensi pendapat ini adalah, jika teks umum tersebut tidak dikehendaki
kekhususannya berdasarkan sabab al-nuzul-nya, maka penyebutan sabab
al-nuzul dalam satu riwayat dengan teks umum, tidak lagi mempunyai faidah,
bahkan seperti penyebutan yang percuma (al-'abats), dan hal ini tidak
layak bagi kapasitas orang yang berakal, terlebih bagi al-Syari'. Namun
tendensi tersebut bisa dimentahkan olah mayoritas ulama dengan menafikan
kesia-siaan penyebutan sabab al-nuzul, yaitu adanya faidah berupa
penjelasan bahwa sabab al-nuzul secara pasti (qoth'i) telah
tercakup dalam keumuman teks dan tidak bisa dikeluarkan dari keumumannya baik
melalui motode qiyas atau lainnya[6].
Dan meskipun di antara dua kaidah di atas tampak pertentangan yang
mencolok, namun ada beberapa permasalahan furu'iyyah (cabang hukum) yang
disepakati oleh seluruh ulama, baik dari kalangan pendapat pertama ataupun
kalangan pendapat kedua, bahwasanya sebagian kandungan teks hukum juga bisa
diaplikasikan pada kasus lain yang serupa dengan sabab al-nuzul, seperti
hukum li'an dalam kisah Hilal bin Umayyah, hukum dzihar pada
kisah Salamah bin Shokhr, hukum qodzaf pada kasus pemfitnah Sy. Aisyah
ra dan masih banyak lagi. Hukum yang telah disepakati tersebut bagi kalangan
pendapat pertama adalah karena berdasarkan konsekuensi keumuman teks, sedangkan
bagi kalangan pendapat kedua adalah karena berdasarkan dalil lain[7].
Paralogisme Liberalis Mengenai "al-'Ibrah bi khusus
al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, bahwa telah banyak
usaha dari sebagian pemikir liberal untuk mengubah kecondongan tekstual Ushul Fiqh
yang selama ini kita ketahui telah melahirkan banyak madzhab pada kurun waktu empat
abad pertama hijriyah. Diantaranya adalah mewacanakan kembali kaidah "al-'Ibrah
bi khusus al-Lafdhi La bi 'Umum
al-Sabab". Namun mereka tidak berhenti di situ saja, bahkan
mereka justru berangkat dari kaidah ini guna menuju beberapa kesimpulan yang
mengajak kita untuk berani keluar dari "kekuasaan teks" (sulthah
an-nash). DR. Hasan Hanafi menjelaskannya sebagaimana berikut, "Dalam
perbincangan historisitas al-Quran, hampir semua ayat di dalamnya mempunyai background
histories-nya (sabab al-nuzul). Ini berarti teks-teks tersebut turun
guna merespon permasalahan dalam tataran realitas waktu itu. Selain itu, dalam
al-Quran juga terdapat konsep abrogasi (naskh). An-naskh berarti bahwa
hukum-hukum Syariat berubah sesuai dengan berubahnya zaman, bahwa berubahnya
zaman mengakibatkan perubahan hukum Syara'; bersifat kontekstual."[8]
Kesimpulan-kesimpulan tersebut dikenal juga dengan istilah konsep ta`wil
zamany (interpretasi historisitas teks). Pengusung konsep ini mengatakan,
"Bentuk kalimat khithob "ya ayyuhan nas" dalam al-Quran
al-Karim yang dimaksud adalah umat pertama yang berada dalam masa hidup Nabi
Muhammad 'alaihis sholatu was salam, dan mendengar al-Quran langsung
dari beliau saw."[9]
Namun setelah kita bahas kaidah kedua yang di atas, menurut penulis,
ada paralogisme (mugholathoh) dalam wacana reaktualisasi kaidah yang
dibawa oleh pemikir liberal, karena konskuensi wacana mereka tidaklah sama
persis dengan konsekuensi kaidah yang diusung oleh Abu Tsaur, al-Muzanni dan
lainnya dari kalangan ulama pendahulu. Para ulama pendahulu tersebut tidak
mengklaim kaidah mereka sebagai dasar naskh karena perubahan zaman, dan yang
paling mendasar, mereka masih mengakui hujjah lain untuk mengaplikasikan
kandungan teks umum pada selain sabab al-nuzul, seperti yang telah
dicontonhkan di atas. Mereka masih memungkinkan masuknya konsep ijma'
(konsensus), qiyas (analogi) dan dalil lainnya dalam permasalahan ini.
Juga mengenai permasalahan khithab "ya ayyuhan nas"
sebenarnya bukanlah hal baru, karena telah dibahas oleh ulama kita. Benar bahwa
bentuk khithab "ya ayyuhan nas" adalah ditujukan pada umat
yang berada pada masa turunnya khithab tersebut. Hal ini adalah pendapat
mayoritas ulama, karena berdasarkan pada tekstual bentuk khithab yang memang secara dalalah-nya
hanya patut ditujukan pada umat masa itu. Berbeda dengan kalangan Hanabilah dan
Abu al-Yasr dari Hanafiyah, yang mengatakan
khithab "ya ayyuhan nas" secara dalalah-nya juga
mencakup umat setelahnya. Namun bagaimanapun perbedaan pendapat ini, hanyalah
menghasilkan khilaf lafdzy yang tidak berkonsekuensi apapun, termasuk ta`wil
zamany. Karena mereka semua sepakat (ijma'), bahwa kandungan khithab
"ya ayyuhan nas" dan semisalnya adalah universal, mencakup juga
umat setelah masa kenabian, hanya saja mereka berselisih apakah universalitas
tersebut berdasarkan dalalah lafadz ataukah qiyas syar'i, ijma'
dan sebagainya[10].
Pada akhirnya, paralogisme tersebut haruslah mereka akui, mengingat
konsekuensi wacana mereka telah melanggar ijma' ulama, kecuali jika
mereka tidak mengakui hujjah ijma', agar bisa menutupi celah kesalahan mereka.
Belum lagi, jika kita terapkan wacana mereka, maka akan berakibat kekosongan
hukum, sebagaimana dawuh Mbah Sahal, "Sebab jika dalil-dalil al-Quran maupun
al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak
sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum." Dan jika mereka
mengatakan, kekosongan hukum itu adalah kesempatan kita untuk menerapkan
metodologi rasional dan meninggalkan metodologi transferensial, maka sekali
lagi mereka berbenturan dengan ijma' ulama terdahulu.
Adapun sebagian ijtihad Sy. Umar bin al-Khatthab yang dijadikan
referensi contoh wacana mereka, sebenarnya telah banyak ulama kontemporer,
seperti DR. M. Sa'id Ramdlam al-Buthy, yang mengkaji kesalahpahaman dalam rujukan
mereka. Dengan penjelasan ilmiah yang memuaskan[11],
terbukti bahwa ijtihad Sy. Umar ra pun tidak meninggalkan nash atau
melanggar ijma'. Dan jika mereka masih kukuh dengan wacana tersebut dan
tidak mengakui hujjah ijma', maka tidak akan ada lagi titik temu dalam
perdebatan pembaharuan Ushul Fiqh yang mereka kampanyekan.
Penutup
Dualisme antara universalitas teks dan historisitasnya dalam Ushul Fiqh
ternyata telah menjadi pembahasan klasik ulama Salaf. Namun, pada perbedaan
pendapat antar mereka, masih memungkinkan untuk mempertemukannya -dalam
beberapa permasalahan furu'iyyah- pada kesepakatan universalitas teks
mencakup kasus lain yang serupa dengan background histories-nya (sabab
al-nuzul). Begitu pula mengenai perbedaan pendapat dalam khithab
"ya ayyuhan nas", hanyalah khilaf lafdzi yang berujung
pada konsensus ulama, bahwa Syari'at Islam mencakup pula terhadap umat setelah
masa kenabian sampai hari akhir nanti; Alyauma akmaltu lakum dînakum wa
atmamtu 'alaikum ni'matî wa rodlîtu lakumul Islâma dînâ.
Ushul Fiqh sebenarnya tidak pernah menutup pintu ijtihad sampai
kapan pun, bahkan menunjukkan peta jalan bagi calon mujtahidin yang
memang benar-benar berusaha untuk menguasai bidang Fiqh. Namun, sebagaimana
dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Bashri al-Seggaff, bahwa Fuqaha'
adalah pewaris amanat risalah dengan kemampuan mereka berijtihad, menjelaskan
hukum Syariat, yang sebenarnya adalah tugas Rasulallah saw. Terilhami keistimewaan
inilah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (751 H) menamakan kitabnya dengan nama "I'lamul
Muwaqqi'in 'an Robbil 'Alamin", yang berarti "Informasi orang-orang
yang bertanda tangan atas nama Tuhan semesta alam". Oleh karenanya,
sangatlah tidak layak meletakkan teks agama kita pada metodologi yang jauh dari
petunjuk Syariat.
Dalam Ushul Fiqh, telah kita pelajari bahwa semua dalil hukum, baik
yang muttafaq 'alaih ataupun yang mukhtalaf fih, telah lebih
dahulu dibahas tentang kelayakan hujjiyah-nya sebagai dalil hukum Syariat.
Maka sudah seharusnya yang mesti dilakukan para pemikir liberal, jika tetap
ingin menggunakan konsep mereka, terlebih dahulu menguji kelayakan konsep mereka dengan standar uji dalil
yang telah muttafaq 'alaih. Dan pada akhirnya, tetap jelas konsep mereka
tidaklah sesuai dengan dalil Syar'i yang lain, terutama ijma'.
Adapun opini miring tentang kejumudan Fiqh karena sempitnya ruang
gerak dalam Ushul Fiqh, penulis kira hanyalah sikap "putus asa" akan
keterbelakangan peradaban (kalimat dalam tanda petik bisa kita diskusikan
bersama). Sebelumnya, telah banyak tuduhan palsu atas Syariat Islam, bahkan
banyak orientalis menuduh Fiqh yang pernah jaya pada masa keemasan Islam
dahulu, adalah produk hukum yang diserap dari peradaban Romawi. Padahal semua itu
adalah produk orisinil dari metodologi Ushul Fiqh yang pada prinsipnya diambil
dari semantik gramatikal Arab untuk memahami bahasa teks al-Quran dan al-Hadits,
mencakup pula beberapa konsep dalil yang terkelompokkan pada dalalah
ma'nawiyah, seperti ijma', qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dsb.
Bagaimanapun, aktivitas Fiqh tidak boleh berhenti dan memang tidak
pernah berhenti. Banyak ijtihad kolektif yang ditawarkan[12],
banyak musyawarah bahtsul masail yang digalakkan, dan banyak fatwa-fatwa
ulama yang faqih dibukukan, tanpa melupakan dan tetap menghargai perbedaan
pendapat antar ulama yang pada hakikatnya merupakan rahmat bagi kita dalam
permasalahan furu'iyyah. Namun, jangan harap kesemuanya akan melegalkan
atau menghalalkan segala aktivitas peradaban globalisasi, karena yang halal itu
jelas dan yang haram juga sudah jelas!
Wallau a'lam.
[1]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:
352-353, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[2]. Namun, yang lebih mu'tamad adalah
adanya suatu lafadz yang ketika diucapkan maka bisa difaham kandungan maknanya
oleh orang yang mengerti tentang peletakan dasar bahasa. Ushulul Fiqh,
DR. Muhammad Abun Nur Zuhair, Vol: II, Hal: 8, Darul Bashair.
[3]. Nuansa Fiqh Sosial, sub tema "Ijtihad
Sebagai Kebutuhan", KH. M. A. Sahal Mahfudh.
[4]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul
Jawami', Vol: II, Hal: 398, Abu Zar'ah Ahmad al-'Iroqy (826 H.), cet: al-Faruq
al-Haditsah. Lihat juga Ghoyatul Wushul komentar Lubbul Ushul,
Hal: 270, Abu Yahya Zakariyya al-Anshary (926 H.) Dinatama Surabaya.
[5]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul
Jawami', Vol: II, Hal: 396. dan Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:352, Darul
Bashair. Namun, pendapat masyhur kalangan Malikiyah adalah kaidah
yang pertama, lihat Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 253,
Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[6]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:353, Darul
Bashair.
[7]. Amali al-Dalalat wa Majali
al-Ikhtilafat, Hal: 255, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[8]. Jurnal Nuansa edisi XVII, Maret 2010,
wawancara DR. Hasan Hanafi, Reaktualisasi Metode Pembacaan Turats, Hal: 52,
Lakspesdam NU Mesir.
[9]. Ushulul Fiqh, Vol: I, Hal: 23,
Mukaddimah dari DR. Muhammad Salim Abu 'Ashi (1407 H./1987 M.), Darul
Bashair.
[10]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul
Jawami', Vol: II, Hal: 351. Dalam kitab Taysir al-Tahrir komentar
kitab al-Tahrir, bahwa sebenarnya universalitas tersebut sudah bagian ma'lum
min al-Din bi al-dlorurah. Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, Vol:
I, Hal: 256, Muhammad Amin Amir Badsyah al-Husaini al-Hanafi, Dar al-Kutub
al-Ilmiah.
[11]. Lebih jelasnya, lihat Dlowabith
al-Mashlahah, DR. M. Said Romdlon al-Buthi, Hal: 152-175, Dar al-Fikr.
[12]. Mengenai aktivitas Fiqh kontemporer, bisa
kita baca penjelasan Syaikh Abdullah bin Bayyah dalam Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat,
Hal: 317 dan mengenai aktivitas ijtihad kolektif pada hal: 659-671, Dar
al-Minhaj.
*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV fakultas
Syariah, Universitas al-Ahgaff; Tarim-Hadhramaut-Yaman.
0 Komentar