Konsep dan
Kedudukan Ijma' dalam Hukum Islam
Oleh: Hamidi Haris
Pendahuluan
Salah satu
kelebihan yang diberikan oleh Allah Swt. terhadap umat Islam dan merupakan
sebuah keistimewaan adalah dengan adanya pengakuan syara' terhadap
kesepakatan (ijma') para ulama serta dijauhkannya dari segala bentuk
kekeliruan dan kesalahan (ma'shûm). Hal itu sebagai bukti dari penjagaan
Allah pada syariat Islam dari campur tangan orang-orang yang terpengaruh oleh
setan dan cara pandang yang terkutuk serta jauhnya dari hidayah Allah Swt.
Ijma' dalam hukum Islam merupakan salah satu dari sumber syariat Islam. Karena
itulah, ijma' merupakan hujjah dalam pandangan Islam yang
berimbas wajib untuk mengamalkannya. Ketika ijma' tersebut terpenuhi
semua syaratnya, sehingga terikatlah semua umat dengan ijma' tersebut.
Konsensus atau ijma’
selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di
dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Umatku
tidak akan bersepakat dalam kekeliruan[1]."
Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ sudah mengikat ke-tsiqah-an
dalam agama serta menjadi sandaran dalam qadlyah-qadlyah penting dalam Islam.
Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan
pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat Muslim.
Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan
memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya.
Definisi Ijma'
Untuk dapat
menelaah lebih jauh tentang apa dan bagaimana peraktek ijma' itu, maka dibutuhkan
suatu definisi yang akan mengantarkan pada subtansi dari ijma' itu. Maka
dari itulah, para ulama ushul memberikan sebuah definisi yang ringkasnya
sebagai berikut, "Ijma' adalah sebuah kesepakatan umat Nabi Muhammad
Saw. -yang ahli ijtihad- setelah wafatnya beliau pada suatu masalah[2]".
Definisi ini sudah mencakup pada kedua macam jenis ijma': sharîh dan
sukûtî, sekalipun pada makalah ini tidak sampai membahas lebih jauh tentang
kedua macam ijma' tersebut.
Dari definisi
inilah sudah nampak jelas adanya isyarat bahwa keputusan umat Nabi Muhammad
mencakup keseluruhan tanpa pengecualian, asalkan semua persyaratan yang
terkandung dalam definisi tersebut sudah terpenuhi. Jadi, sebuah ijma'
tidak bisa dianggkap sah menurut ulama ushul jika hanya ditetapkan oleh ahli
bait Nabi Muhammad saja, sekalipun mereka divonis oleh kelompok Syiah[3] sebagai umat yang lepas
dari semua bentuk dosa (ma'shûm). Hal itu karena dalam kelompok Ahl al-Sunnah
wa al-Jamâ'ah menetapkan bahwa predikat 'ishmah hanya dimiliki oleh
para nabi saja[4].
Jadi, anggapan 'ishmah menurut kelompok Syiah tidak bisa menopang untuk
mengesahkan ijma'.
Posisi dan Kehujjahan Ijma'
dalam Syariat Islam
Berawal dari pandangan Imam Syafi'i dalam kitabnya, Ahkâm Al-Qur`ân,
setelah beliau ditanya dasar penetapan hukum ketika tidak termaktub dalam Alquran
dan hadits, maka beliau menjawab -setelah tiga hari kemudian-, ijma' adalah
sebagai landasan dalam penetapan hukum.
Sudah tidak heran lagi
jika melirik pada sumber-sumber syariat Islam, maka kita akan menemukan ijma'
menempati pada posisi ketiga setelah Alquran dan hadits. Hal ini sejalan dengan
madzhab salafus shâlih, seperti ditetapkan Syekh Ibnu Taimiyyah dalam fatâwâ-nya.
Dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan secara global –untuk lebih detailnya
dapat ditelaah dalam kitab-kitab ushul- bahwa ijma' itu adalah hujjah
qath'î dalam syariat Islam. Karena kalau dilihat dari jawaban dan dalil
yang dijadikan rujukan oleh Imam Syafi'i adalah dalil utama serta paling utama
seperti dijelaskan Imam al-'Amidy[5] ketika menyebutkan dalil
kehujjahan ijma', yaitu firman Allah,
)وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا( [النساء/115]
Akan tetapi sekalipun ijma'
memiliki posisi yang sangat inti dalam melahirkan seorang mujtahid sekaligus
sebagai sumber hukum Islam, ia tidak lepas dari kriteria-kriteria yang harus
terpenuhi sebagaimana terurai di atas, karena hal yang sedemikian itu merupakan
keutuhan sebuah ijma' sendiri.
Fungsi Ijma' dalam Syariat Islam
Setelah dengan jelas
diketahui bahwa ijma' adalah hujjah dan termasuk dari deretan
sumber-sumber hukum dalam syariat Islam, maka nampaklah bahwa ijma'
sangatlah penting dalam syariat Islam.
Berikut fungsi dan kegunaan ijma'[6]:
-
Ijma' terhitung sebagai dalil yang muttafaq,
tentunya setelah ada legalisasi kehujjahan pada ijma' itu sendiri. Sehingga
apabila ada gugatan untuk menggagalkan sesuatu yang sudah dilandasi ijma',
maka akan merongrong terhadap kesakralan agama.
-
Menghilangkan ambiguitas teks-teks agama. Hal
yang seperti itu karena sudah terjadi setelah ditemukannya hal-hal yang
berkonsekuensi warna-warni pandangan ulama dimana semua itu memang muncul dari
teks itu sendiri. Seperti adanya kemungkinan ta'wîl atau tidaknya,
keshahihan teks hadits atau tidaknya, dan seterusnya, maka disaat ada ijma'
dari para ulama dengan sendirinya semua kemungkinan itu akan hilang.
Hal yang seperti ini
semakin memperkuat terhadap eksistensi dan kedudukan ijma' dalam syariat
Islam yang seterusnya akan menjadi keutuhan agama Islam hingga akhir masa dan
tidak akan terjadi keraguan pada setiap pribadi Muslim, terkecuali mereka yang
masih dipertanyakan keteguhan islamnya.
Ijma' pada Era Kekinian
Setelah mengetahui
definisi ijma' diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ijma'
tidak akan terjadi kemandegan hingga hari akhir nanti. Sangatlah mungkin untuk
melakukan dan mempraktekkan kosep ijma' itu pada suatu permasalahan yang
sedang menimpa umat saat sekarang, mengingat masalah-masalah yang sedang
dihadapi umat Islam saat ini sangatlah banyak sekali. Dan semua masalah itu
membutuhkan legalisasi hukum dari syara' sesuai dengan ciri khas syariat
Islam yang selalu sejalan dengan roda perputaran zaman.
Hal yang seperti ini
bukanlah suatu kemustahilan. Sekalipun para mujtahid umat Islam tersebar di
seluruh penjuru dunia, justru pada saat seperti inilah kemungkinan untuk
bersepakat lebih gampang lagi, sebab media yang tersedia saat ini sangat
mendukung. Hal senada juga dikatakan oleh Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya,
Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh[7].
Jadi, hal semacam ini
dapat dijadikan sebuah sanggahan bagi siapa saja yang berasumsi, kalau ijma'
pada era kontemporer mustahil diperaktekan dengan alasan tersebarnya para ulama
mujtahid di segala penjuru dunia, seperti yang dikatakan oleh penganut madzhab
al-Dzâhiry yang menganggap bahwa ijma' hanya bisa dipraktekkan di masa Sahabat
saja. Dan bahkan ijma' para ulama kekinian di saat terjadi masalah yang
menimpa umat dapat dijadikan sebuah media untuk mendeteksi kebenaran terjadinya
ijma'.
Syekh ath-Thûfî dan
Pandangannya Tentang Ijma'
Sebagai penghujung dari sekelumit makalah ini, berikut
seorang Syekh at-Thufi -yang bermadzhab Hanbali dan Asy'âriyah dari sisi
akidahnya, namun terkadang melenceng pada aliran Syiah dan bahkan hingga
golongan Rafidlah- melontarkan pandangannya tentang ijma' jika
terjadi pertentangan dengan maslahat. Bahwa apabila nash dan ijma'
bertentangan dengan maslahat, maka wajib mengedepankan maslahat dengan
menjadikan maslahat sebagai mukhossis pada keduanya (nash dan ijma').
Beliau berdalih sebagai berikut;
"Orang-orang yang ingkar terhadap
ijma' karena demi memperhatikan maslahat, sehingga berkesimpulan, bahwa
berlandaskan pada dalil tidak ada khilaf –dalam hal ini dianggapnya maslahat
sebagai dalil yang muttafaq setelah mengetahui ada sebagian ulama' yang
mengingkari ijma'- lebih utama dari pada berlandaskan pada dalil yang masih ada
khilaf di kalangan para ulama, yaitu ijma' para ulama".
Namun, pandangan Syekh Thufi tersebut terjawab tuntas[8]. Dengan bukti bahwa nash
dan ijma' selamanya tidak akan bertentangan dengan maslahat, persepsi
ath-Thufi ini tak ubahnya sebagai hayalan semu yang hanya bercumbu pada praduga
semata. Wallahu A'lam!
Penutup
Kosensus para mujtahid
ini, setelah mendapat legalisasi dari syara', sudah barang tentu menjadi
hujjah terhadap semua umat yang berakibat kekafirannya jika dilanggar
saat ijma' itu adalah hal yang sudah diketahui dari agama secara pasti,
baik kalangan orang awam atau tidak, dan di saat terjadinya fenomena yang
menuntut para ulama untuk melakukan ijma'.
Maka dari itulah para
ulama memberikan dan menyimpulkan beberapa kode etik seorang mujtahid,
diantaranya harus tahu hal-hal yang telah menjadi ijma' ulama sebelumnya
agar tidak sampai membekukan ijma' yang telah ditetapkan, karena seperti
dikemukakan diawal membongkar perkara yang telah disepakti oleh para ulama akan
berakibat hilangnya keutuhan agama itu sendiri.
Inilah sekelumit
tentang konsep dan kehujjahan ijma' dalam syariat Islam yang sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap kepada Allah Swt. Semoga Allah tetap
memberikan sedikit pencerahan bagi kita semua untuk membuka cakrawala wawasan
kita sebagai pelajar syariat Islam. Wallahu A'lam !
27 April 2011 M
[2] Definisi
ini sengaja dikutip dari kitab Lubbul Ushûl yang ditulis oleh Syekh
Zakariya al-Anshary. Untuk mengetahui lebih luas lagi tentang definisi ijma'
bisa dilihat pada kitab-kitab lain, seperti Al-Mustashfa dan Al-Ahkam
Fi Ushul Al-Ahkam.
[3]
Jelasnya hanya Syiah
Itsna 'Asyariah saja yang menganggap mereka itu suci dari berbagai bentuk
dosa.
[5] Al-Âmidy,
Al-Ahkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, juz. 1/hal. 156.
[7]
Untuk cara dan peraktek pelaksanaan ijma' pada saat ini, Dr. Abdul Karim
Zaidan memberikan sebuah contoh berikut media-media yang memungkinkan untuk
menjadi pendukung dalam pelaksanaan ijma'. Lihat hal. 192-193.
[8]
Diantara yang menyanggah pandangan Syekh Thufi tersebut adalah Dr. Muhammad
Sa'id Ramdlan Al-Bouti dalam kitabnya, Dlawabid Al-Maslahat dan Syekh
Zahid Al-Kautsari dalam Maqalatnya.
0 Komentar