Tasawuf dan Kebangkitan Peradaban



Tasawuf dan Kebangkitan Peradaban [Reportase Seminar Ilmiah Seputar Tasawuf, Senin (17/12/2012)

Diakui atau tidak, diskursus tasawuf  dalam Islam telah menarik perhatian banyak kalangan. Itulah sebabnya, kesimpulan perihal jatidiri tasawuf nyaris tak pernah tunggal. Para filosof menafsirkan tasawuf sebagai fenomena yang mampu merasionalkan nilai – nilai secara intuitif. Sedangkan sosiolog dan antropolog, cenderung memandang tasawuf sebagai fenomena sosial, mengingat pisau analisa yang digunakan adalah aspek material ansich.

Di kalangan banyak pemikir kontemporer, tasawuf juga sering diasumsikan sebagai pemicu utama stagnansi dalam tubuh umat Islam. Anggapan ini mungkin timbul dari kecenderungan berislam segelintir kaum sufi yang terkesan pasif : mengerahkan jiwa raganya secara totalitas untuk beribadah sembari menafikan sesuatu selain-Nya. Ironisnya, tasawuf, secara tidak langsung, lantas dituduh sebagai penyebab kemunduran umat Islam di berbagai aspek. Lantas, dimanakah peran tasawuf dalam membentuk jatidiri umat Islam ? bahkan lebih jauh lagi, sejauh manakah tasawuf memberikan andil dalam membangun peradaban manusia ?

Berangkat dari problematika itulah, pada Senin (17/12), Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hadhramaut PPI Yaman, menggelar seminar ilmiah bertajuk “Tasawuf : Perannya dalam Membangun Peradaban dan Agama”. Acara yang dihelat di Auditorium Fak. Syariah wal Qonun Universitas Al-Ahgaff, Tarim tersebut berjalan sukses atas kerjasama PPI Yaman, PCINU Yaman, Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff, dan Jam’iyyah Wahdatul Iman. Dua narasumber yang dihadirkan adalah Ulama asli putra Tarim ; Dr. Muhammad bin Abdul Qadir al-Idrus dan Habib Zaid Abdurrahman bin Yahya. Acara dimulai tepat pukul 20.30 KSA dengan dimoderatori M. Mahrus Ali, mahasiswa tingkat empat asal Pamekasan, Madura.

Di hadapan sekitar tiga ratus peserta yang hadir, narasumber pertama, Habib Zaid, berupaya mengupas defenisi term tasawuf secara mendasar. Ia menjelaskan, bahwa para pakar tasawuf berbeda pendapat tentang permulaan munculnya istilah Tasawuf. Mereka juga berbeda pendapat tentang asal usul kata tersebut. Sebagian ada yang mengatakan bahwa kata” tasawuf” diambil dari kata ash-Shuf, yaitu kain wol. Pendapat lain mengatakan kata tasawwuf berasal dari kata ash-shuffah. Dan ada banyak pendapat lain. Namun yang paling dekat, menurut Habib Zaid, bahwa tasawwuf diambil dari kata ash-shofa ; jernih.

Terkait istilah terminologi, istilah tasawuf pada dasarnya tidak ada bedanya dengan istilah-istilah ilmu yang lain. Seperti fikih, tafsir, hadits, dll. Pada permulaan Islam, istilah – istilah tersebut juga belum dikenal, namun tidak dikenalnya istilah tersebut tidak kemudian divonis sebagai sesuatu yang sesat. Karena sejatinya, istilah tasawuf adalah nama baru untuk sesuatu yang ada sejak dahulu (ismun jadid limusamman qadim).

“Tasawuf pada dasarnya adalah upaya pengamalan Ihsan yang merupakan salah satu pilar agama yang disebutkan dalam hadits Jibril”, cetus Habib Zaid. “Maka ketika ada yang bertanya kapan tasawuf masuk ke Hadhramaut.  Saya tegaskan, tasawuf masuk bersamaan dengan masuknya Islam ke negeri ini”, tambah pemimpin An-Nur Center for Studies and Research, Tarim tersebut.

Pakar tasawuf juga berbeda dalam mendefinisikan tasawuf. Bahkan Syekh Ahmad Zaruq mengatakan bahwa berbagai batasan, gambaran dan penafsiran tentang tasawuf mencapai sekitar dua ribuan, tetapi semuanya kembali pada satu inti yaitu kesungguhan dalam beribadah kepada Allah. Definisi yang banyak itu timbul, karena setiap pemberi pengertian itu  memberikan pengertian tersebut sesuai dengan pengalamannya dalam mengamalkan tasawuf.

Kendati demikian, menurut Syekh Abdul Halim Mahmud, keragaman defenisi tasawuf tersebut bermuara pada dua aspek. Pertama, cara yang ditempuh. Kedua, tujuan yang dicapai. Kedua hal inilah yang membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam mendefenisikan tasawuf. Yang dimakasud aspek pertama, cara yang ditempuh, yakni penyucian hati dengan meningkatkan akhlak dan ibadah kepada Allah. Dan aspek kedua, tujuan yang dicapai, yakni penyaksian (musyahadah) kepada Allah seraya merasakan kehadirannya dalam hati. Dengan demikian, sejatinya tasawuf adalah pengejewantahan makna al-Qur’an dan penerapan sunnah Rasulullah saw.

Narasumber yang juga sering mengisi seminar seputar tasawuf dalam skala Internasional itu juga menegaskan, bahwa dengan pengertian tersebut, para ulama yang terkesan mengecam para sufi pun, sebenarnya tidak pernah menafikan esensi tasawuf yang benar. Ibnu Taimiyah, yang selama ini terkenal berada di garda terdepan dan terkeras dalam menghujat para sufi, masih tetap mengakui kebenaran tasawuf yang sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Buktinya, Ibnu Taimiyah memiliki kitab tasawuf yang mensyarahi karya Syekh Abdul Qadir Jailani : Futuhal Ghaib. Selain itu, dalam karyanya yang lain, “as-Shufiyah wal Fuqara”, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa para sufiyah adalah orang – orang yang berijtihad dalam hal ketaatan kepada Allah. Sikap obketif Ibnu Taimiyah ini, sayangnya, jarang diakui oleh para pengikutnya yang memusuhi tasawuf secara membabi buta.  

Lantas, sejauh manakah peran tasawuf dalam membentuk jatidiri umat Islam serta peradaban manusia ?. “Sejarah telah membuktikan secara nyata hal ini !”, kata Habib Zaid yang pertengahan tahun 2011 lalu menjadi pembicara di Multaqo Sufi Internasional, di markas PBNU, Jakarta.

Salah satunya, kata Habib Zaid, adalah supremasi kegemilangan umat Islam ketika mampu merebut Yerusalem dari tangan pasukan Salib. Bagi Habib Zaid, kemenangan pasukan Islam pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi kala itu, merupakan representasi nyata dari kebangkitan spiritual mereka. Hal tersebut tidak lepas dari kehadiran Ihya Ulumuddin yang ditulis Imam al-Ghazali.

Secara umum, peran dan andil tasawuf setidaknya bisa dijabarkan dalam beberapa aspek. Dalam ranah yang paling sederhana, tasawuf memiliki peran membentuk manusia yang memiliki moral yang tinggi  serta pribadi mukmin yang kuat yang tidak takut kecuali kepada Allah. Sedangkan dalam skala yang lebih luas, tasawuf telah memainkan perannya dalam menciptakan masyarakat yang beriman yang mampu menghadapi seluruh tantangan-tantangan kehidupan. Selain itu, orientasi spiritual yang diajarkan tasawuf, dinilai ampuh untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya materialisme dan ekstrimisme yang muncul  akibat mereka menjauh dari agama serta kedangkalan mereka di dalam memahami teks – teks syariat. Dan yang tak boleh dilupakan, imbuh Habib Zaid, adalah andil tasawuf dalam penyebaran Islam di muka bumi.

Di India misalnya, para kaum sufi dinilai berhasil membumikan ajaran Islam tanpa harus menggunakan cara kekerasan. Fakta ini diakui sejumlah tokoh orientalis, seperti Masinouns. Orientalis asal Prancis itu berkata, “Sesungguhnya Islam tak pernah tersebar di India melalui jalur perang, melainkan melalui jasa para kaum sufi melalui tarekat – tarekatnya.” Bagi  Masinouns, hal itu disebabkan karena keharmonisan sosial antara mayoritas (dalam hal ini pemeluk Hindu) dan minoritas tak akan pernah terajut mesra kecuali dengan usaha keras para sufi yang berjuang ikhlas tanpa pamrih. Hal yang serupa juga terjadi di kawasan benua Afrika seperti Senegal, Mali, Nigeria, dan Ghana. Tentu sudah maklum, bahwa sejumlah negara tersebut adalah mercusuar perkembangan sejumlah tarekat sufi, sebut saja at-Tijaniyah, as-Sanusiyah, dan as-Syadziliyah.

Dengan kunci yang sama, para kaum sufi juga berhasil melebarkan sayap dakwahnya ke kawasan Asia, khususnya kawasan Melayu, seperti Indonesia dan Malaysia. G. Marcais menyatakan, bahwa kunci keberhasilan para kaum sufi itu tak lepas dari kepribadian mereka yang mau membaur serta berakulturasi kepada semua lapisan masyarakat, menyebarkan aroma perdamaian dengan landasan nilai ihsan dan taqwa. Sehingga Islam pun bisa diterima tanpa menyisakan benih – benih sentimen permusuhan.

* * *

Setelah narasumber pertama mengupas tasawuf secara panjang lebar, moderator M. Mahrus Ali memberikan kesempatan kepada narasumber kedua, Dr. Muhammad bin Abdul Qadir al-Idrus. Tokoh yang saat ini menjabat sebagai Dekan (‘Amid)  Fakultas Syariah wal Qanun Universitas Al-Ahgaff tersebut memfokuskan pemaparannya tentang prinsip – prinsip Ahlul Bait di Hadhramaut dalam berdakwah. Menurut Dr. Muhammad, prinsip – prinsip inilah yang harus diperhatikan oleh para dai dalam menyebarkan Islam. Mengabaikan prinsip tersebut, bagi ‘Amid, berarti meninggalkan hal yang fundamental dalam aktivitas dakwah. Dalam makalah yang ia tulis, sejumlah prinsip tersebut bisa dirangkum ke dalam tujuh poin.

Pertama, menghormati serta menjunjung tinggi dua kalimat syahadat. Prinsip ini meniscayakan tindakan seorang da’i untuk tidak mudah mengkafirkan, dan menyesatkan seseorang, selagi dia masih mengikrarkan dua kalimat syahadat. Menurutnya, tindakan mudah menyematkan status “musyrik” kepada saurada seiman, itu sama halnya dengan mencabik kesakralan dua kalimat syahadat.

Kedua, menghormati al-Kitab dan al-Sunnah dengan mempelajari dan mengajarkan serta dengan tidak membeda-bedakan diantara keduanya.
Ketiga, senantiasa mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya. ‘Amid menegaskan, bahwa Ahlul Bait Hadhramaut, baik dalam perkataan maupun perbuatan, selalu dilandasi spirit mengamalkan ilmu yang didapat. Dan inilah yang selalu menjadi dasar mereka dalam mendidik masyarakat. “Karena bagaimanapun, tindakan nyata lebih memberikan pengaruh daripada sekedar ajakan lisan,” tukasnya.

Keempat, mencintai Allah dan Rasulnya serta menyebarkannya di masyarakat. Hal tersebut, salah satunya, bisa dilakukan dengan membaca sejarah Nabi dan memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi. Karena memupuk nilai cinta (mahabbah) kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah jalan untuk mengamalkan perintah dan larangan-Nya.

Kelima, memandang umat dengan penuh rahmah dan kasih sayang, sebagaimana yang  diajarkan oleh Rasulullah. Rasulullah diutus adalah untuk menjadi rahmat untuk seluruh alam. Prinsip ini bisa diterjemahkan ke dalam aktivitas dakwah yang penuh rahmat, dan menjauhi tindakan anarkis.

Keenam, menjaga tradisi baik yang sudah berlaku di masyarakat. Dalam menerangkan prinsip ini, dosen jebolan Universitas Baghdad, Irak itu menjelaskan, bahwa seorang da’i tidak boleh serta merta memberangus tradisi baik yang ada di masyarakat tempat ia berdakwah. Ia juga mengingatkan, bahwa akulturasi terhadap tradisi adalah kebutuhan mutlak dalam dakwah. Menolak berkompromi dengan tradisi, sama halnya menjadikan aktivitas dakwah kekurangan gizi.

Prinsip yang terakhir, adalah menjauhi persaingan dalam ranah politik. Bagi mereka, persaingan di dalam perebutan kememimpinan seringkali menimbulkan perpecahan di antara umat. Oleh karena itu, perhatian mereka lebih ditujukan kepada hal yang lebih penting, yaitu dakwah kepada Allah.

Ketujuh prinsip dakwah inilah, imbuh ‘Amid, yang senantiasa dipegang teguh oleh para Ahlul Bait Hadhramaut dalam menebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Terbukti, salah satunya, masuknya Islam ke Indonesia melalui para Ahlul Bait Hadhramaut – yang populer dengan sebutan Walisongo – dapat diterima dengan baik oleh penduduk nusantara.
***
Acara yang juga dihadiri para pelajar Ribath Tarim dan Darul Musthofa tersebut semakin menarik saat memasuki sesi tanya-jawab. Imam Nawawi, pelajar Fak. Syariah tingkat akhir, mendapat kesempatan sebagai penanya pertama. Pemuda “unyu – unyu” asal Rembang, Jawa Tengah ini mengajukan dua pertanyaan.

Pertama, terkait tuduhan orientalis seputar diskursus tasawuf. Ia menanyakan secara serius, terkait beberapa wacana yang disodorkan orientalis serta segelintir golongan yang menganggap tasawuf bukan berasal dari Islam, melainkan hasil pergesekan dengan sejumlah ajaran lain, seperti Hindu, Yunani,dan Persia. Kedua, terkait beberapa penafsiran ahli sufi yang dinilai melampaui arti literal (ma’na dhohir) dari ayat al-Qur’an. Sehingga di titik ini, bagi Nawawi, ada kesamaan antara tafsir isyari (yang dilakukan kaum sufi) dengan tafsir bathiny yang diusung kelompok Bathiniyah.

Bagi Habib Zaid, tuduhan yang menyatakan tasawuf adalah hasil “plagiat” dari ajaran lain adalah asumsi yang tak berdasar. Mengingat esensi jaran tasawuf sendiri dibangun oleh Nabi sendiri. Sebab tasawuf pada dasarnya adalah upaya untuk membersihkan jiwa dari sifat – sifat tercela kemudian menghiasinya dengan sifat terpuji. Selain itu,  tasawuf pada dasarnya adalah upaya melaksanakan salah satu rukun agama yang terdiri dari tiga komponen, yaitu Islam, Iman dan Ihsan yang kesemuanya bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Selain itu,  tidak ada paradigma keilmuan yang memastikan bahwa setiap ajaran yang sama atau mirip terjadi karena ada saling mempengaruhi atau penjiplakan. Oleh karena itu, para sufi klasik meletakkan karakter – karakter dasar yang menjadi pijakan tasawuf yang benar melalui tulisan-tulisan mereka. Salah satunya adalah al-Thusy dalam kitabnya al-Luma’.

Sedangkan terkait tafsir Isyari, Habib Zaid menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara tafsir isyary dengan tafsir bathiny. Ia menjelaskan, bahwa meskipun dalam aktivitas penafsirannya terhadap al-Qur’an dan Hadis kaum sufi bersandar pada al-Hiss dan Dzauq, namun tidak sampai menafikan alat lain dan arti dhohir dari teks syariat. Makna dzahir tetaplah menjadi titik-tolak dalam penafsiran isyary – shufy. Tafsir corak ini juga tidak menafikan tafsir – tafsir lain yang bercorak berbeda, sebagaimana juga tidak berbenturan dengan makna bahasa yang terdapat dalam kaidah Bahasa Arab. Hal inilah yang menjadi garis demarkatif, yang membedakan secara mendasar antara tafsir Isyari dengan tafsir bathiniy. Sebab dalam pandangan kelompok Bathiniyyah, makna batin al-Qur’an dan as-Sunnah adalah makna yang diinginkan. Sedangkan arti literal teks, sama sekali tidak dikehendaki oleh peletak dasar syariat (Syari’).

“Akibatnya, mereka menolak bagian besar syariat yang telah diketahui secara aksiomatis dalam agama (al-ma’lum min al-diin bi dharurah) seperti kewajiban shalat, puasa, dan zakat,” ujar Habib Zaid. Acara tanya – jawab dan diskusi terus berlangsung hingga pukul 23.30 KSA.(ppiyemenwebsite/hadramautinfo/ahgaffpos/himmahfm).

[Reporter : Dzul Fahmi]

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah mensukseskan acara ini, khususnya kepada para pengurus DPW Hadhramaut PPI Yaman, PCINU Yaman, AMI Al-Ahgaff, dan Jam’iyyah Wahdatul Iman. Serta seluruh peserta yang hadir, dan juga pembaca hasil reportase seminar ilmiah ini. Semoga kegiatan semacam ini dapat terus digalakkan. Sehingga kegemilangan Islam yang pernah diraih dengan hidupnya semarak keilmuan bisa kembali kita raih. Sampai jumpa di acara-acara ilmiah selanjutnya !

Posting Komentar

0 Komentar