Mengaji
Kode Etik Jurnalistik Islam Perspektif Ibn Qutaibah
(213 -276 H./ 828- 889 M.)
“Knowledge
Encyclopedia” and “Aswaja Journalist” (Upaya Membentuk Karakteristik
Jurnalis Muslim)
Oleh:
Umamel Samfanie*
1.
A. Pengantar Umum
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah,
al qa`il fi kitabih: “Iqra` wa Rabbukal akram, alladzi `allama bil qalam,
`allamal insana malam ya`lam”. Shalatan wa salaman daimain, `ala sayyidina
Muhammadin, al qa`il: “innama bu`itstu mu`allima”, wa `ala alihi wa shahbihi wa
man tabi`ahum bi ihsanin ila yaumiddin; wa ba`du.
Jurnalistik
merupakan bagian penting dalam ilmu komunikasi modern. Dalam Muqaddimah Ibn
Khaldun al Hadhrami (w. 808 H.), ia menyebutnya sebagai ilmu al lisan,
sementara dunia kepenulisan pada zaman itu, popular dengan term al
katib, al nasikh atau al warraq; kini, dunia
kejurnalistikan, akrab disebut al shahafah.
Shahafah, adalah hal ihwal terkait
pewartaan dan penulisan sebuah berita, ia merupakan aktivitas keilmuan, yang
sejatinya tak dapat dipisahkan dengan keberadaan islam di muka bumi ini, ia
bagian dari islam itu sendiri. Ajakan gemar membaca dan menulis, bukan hal baru
bagi ummat islam, bahkan untuk menyebut dalil satu-persatu, terlampau banyak
ayat-ayat al Qur`an dan Hadits nabawi yang melandasi dan melegalisasi
eksistensi jurnalistik dalam islam.
Ahmad
al Fasi dalam al Bahr al Madid fi Tafsir al Qur`an al Majid (3/344), ketika
menafsir ayat “wadzkur fil kitabi Idrisa, innahu kana shiddiqan Nabiya”,
ia mengatakan; bahwa orang yang pertama kali menorehkan tinta dengan
menggunakan ujung pena sebagai alat torehnya, adalah Nabiyullah Idris
`alaihissalam-“wa annahu awwalu man khattha bil qalam”. Sehingga, patut
saja bila kemudian dalam dunia islam muncul tokoh-tokoh muslim yang semenjak
dahulu lantang menyuarakan ide, opini dan wawasan intelektualitasnya dalam
bentuk karya tulis monumental, hampir setiap disiplin keilmuan dalam islam
ditulis dengan sangat rapi, madzahib fiqh arba`ah misalnya; memiliki
banyak karya tulis terkenal di kalangan pengikutnya dalam berbagai bentuk
tulisan, entah itu ditulis langsung oleh imam madzhab yang bersangkutan atau
ditulis oleh para pengikut setianya untuk tujuan pemerataan pemahaman kepada
khalayak umum tentang madzhab imam yang dianutnya.
Dalam
madzhab Hanafi, kita bisa membaca koleksi kitab dengan sekian banyak judul dari
berbagai macam fan ilmu yang ditulis para pengagum imam Abu Hanifah, seperti:
Ibn Humam (w. 861 H.) yang menulis Fathul Qadir, al Marghinani (w. 593 H.)
menulis al Bidayah, dan al Hidayah syarah al Bidayah, dan al Kasani (w. 587 H.)
menulis Bada`i Shanai`. Di pihak lain, pro madzhab Maliki, mendokumentasikan
madzhabnya dalam al Mudawwanah, karya pendiri madzhab sendiri, Imam Malik ibn
Anas (w. 179 H.), al Kafi, karya Yusuf al Qurthubi (w. 463 H.), al Tahdzib,
karya al Azdi al Qairawani (w. 372 H.), al Bayan wa Tahshil, karya Ibn Rusyd al
Jad al Qurthubi (w. 420 H.), Irsyadus Salik, karya Abdur Rahman al Baghdadi (w.
732 H.). Adapun literatur fiqh Syafi`i-an, memasang al Umm, karya pendiri
madzhab, Imam Syafi`i (w. 204 H.). pecinta madzhabnya menulis al Hawi al Kabir,
karya al Mawardi (w. 450 H.), al Muhaddzab, karya Abu Ishaq Ibrahim al Syirazi
(w.476 H.), al Wasith, karya Muhammad al Ghazzali al Thusi (w. 505 H.),
Mukhtashar al Muzni, karya Isma`il al Muzanni (w. 264 H.). Para pengikut
madzhab Hanbali juga memiliki karya, seperti: Matan al Kharqi, karya `Umar al
Kharqi (w. 334 H.), al Kafi dan al Mughni, karya Ibn Qudamah al Maqdisi (w. 620
H.).
Selain
karya tulis di bidang fiqh, para ulama` jurnalis juga berkarya dalam berbagai
disiplin keilmuan secara umum, yang meliputi kajian teologi, sosial, ekonomi,
budi pekerti, politik, astronomi, eksakta, sastra bahasa, tafsir dan lain-lain.
Terkait pemilihan contoh karya yang hanya berkonsentrasi pada satu fan ilmu
saja (fiqh), hal itu untuk memudahkan kita dalam memahami ide, karena judul
karya yang berafiliasi pada fan fiqh lebih familier, praktis dan bersifat umum,
sehingga lebih banyak dikenal dan mendapatkan perhatian lebih dalam dunia
jurnalistik islam bila dibanding fan ilmu lain. Koleksi kitab-kitab tersebut,
sudah cukup untuk dijadikan tolak ukur dalam merepresentasikan kenyataan
tentang eksistensi dunia jurnalistik dalam islam. Ajaran gemar membaca dan cinta
tinta, sesungguhnya telah tumbuh subur sejak dahulu kala, bahkan sejak
diutusnya Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Singkatnya; kegiatan jurnalistik, gemar membaca dan menulis, merupakan bagian
dari islam, hal itu telah dikumandangkan oleh sang pembawa wahyu, Jibril
alahissalam; ketika menyuruh Nabi membaca wahyu pertama, “iqra` bismi
Rabbikalladzi khalaq”.
Maka,
Apa pun corak, bentuk, nama dan warna aktivitas yang akan dan sedang kita
upayakan, Beliaulah Nabi Muhammad, sebagai cermin kita dalam memulai,
menentukan, dan menetapkan segala hal di ranah kehidupan ini. Mengiblat kepada
Nabi, artinya, kita sedang berada di atas bentangan rel agama yang panjang,
yang akan mengantar kita sampai ke stasiun keislaman yang benar, menuju stasiun
iman yang kuat dan stasiun ihsan yang baik, sehingga kita bisa sampai ke
penghujung stasiun kesempurnaan pribadi, demi kesuksesan abadi. Hanya dengan
mengikuti petunjuknyalah, kita dapat memastikan kebenaran jalur hidup ini;
Apakah kita sedang on the track, ataukah telah melenceng jauh dari jalur yang
semestinya harus kita ikuti besama sebagai ummat islam yang mengakui Nabi
Muhammad sebagai rasulullah, pemimpin dan penunjuk jalan keselamatan hidup
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
B. Poros
Masalah
Pertanyaannya
adalah: Bagaimana dengan pribadi kita sekarang dalam menyikapi dunia
kejurnalistikan modern?, Masihkah ghirah kejurnalistikan para
tokoh islam terkemuka itu, terbesit dalam sanubari setiap pribadi (pelajar
Islam) sebagai jurnalis idealis, ataukah sudah tergantikan tokoh idola lain?,
Adakah kita berkeinginan besar (serius) untuk meneruskan perjuangan mereka di
zaman sekarang ini, sebagaimana mereka telah melakukan perjuangan dengan tulus
ikhlas dan pengorbanan berharga dengan meluangkan waktu, tenaga dan daya
fikirnya untuk menulis beribu-ribu kalimat demi keberlangsungan dakwah islam
pada zamannya, ataukah kita memendam rasa yang berbeda dengan mereka?, Haruskah
kita konyol dengan hanya berbangga membaca sejarah emas jurnalistik islam,
menyebut nama tokoh dan sejumlah karya tulis monomental mereka saja, tanpa
sedikitpun kita berusaha menekuni proses panjang mencapai tujuan mulia itu,
Atau apa, yang sudah dan harus segera kita lakukan untuk kejayaan Islam dan
kaum Muslimin di ranah jurnalistik modern sekarang ini?!.
Nah,
inilah saat yang tepat bagi kaum jurnalis Ahgaff, untuk memulai desain baru,
merecoveri cakrawala alam fikir lalu, dengan sejenak mengenang dan membaca
kembali ide brilian mereka dalam diskusi-diskusi berbasic intelektual. Dan
sebagai contoh pembuka kajian turats kejurnalistikan islam,
pada kesempatan mulia ini; Saya mengetengahkan tokoh muslim abad ke-3 Hijriyah,
sebagai maskot di balik sukses sejarah kejurnalistikan dunia islam itu. Ia
tokoh jurnalis jenius yang karena kecemerlangan, dan kemampuan akal fikirnya
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, para penulis sejarah memberi gelar
kehormatan, “knowledge encyclopedia”-`aliman mausu`iyan; di kalangan
para pemuka sastra dan ahli bahasa, ia dikenal sebagai kritikus bahasa, -al
`alim al lughawi al naqid-, ia memiliki wawasan luas dan kelas
intelektualitas tinggi dalam banyak bidang ilmu, selain kemampuannya dalam
bidang sastra dan bahasa, bahkan al Dzahabi dalam Siyar A`lam, mengutip al
Khathib, ia menulis:
“ويقول:
ابن قتيبة من الثقات، وأهل السنة ”
bahwa
Ibn Qutaibah adalah pribadi yang terpercaya dan Ahlu Sunnah (al Dzahabi,
13/299). Argumentasi inilah yang mendasari saya memasang titel “Aswaja
Journalist”. Wa `ala kulil hal, Siapakah dia?. Berikut profil
singkatnya.
C. Profil
Singkat “Aswaja Journalist”
Nama
Lengkap: Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al Dainuri Nama Pena:
Ibn Qutaibah al Dainuri. Tempat & Tahun lahir: Baghdad/Kufah; 213
H./889 M. Predikat Intelektual: Cendikiawan, Sastrawan, Kritikus Bahasa,
Ensiklopedia Ilmu Pengetahuan. Predikat Sosial: Tokoh Muslim, Kritikus Sastra
dan Bahasa Abad 3 Hijriyah. Nama Guru: Abi Hatim al Sajaztani, Ishaq bin
Rahawaih, Abi al Fadhal al Riyasi, Abi Ishaq al Zayadi, al Qadi Yahya ibn
Aktum, dan al Jahidh.
Nama
Murid: Ibn
Darustawaih, Abdu al Rahman al Sakari, Ahmad Marwan, Abu Bakar Muhammad bin
Khalaf.
Aktivitas
Intelektual:
Sebagai Guru di Baghdad. Metode Mengajar: Kompromisasi sistem pendidikan
Bashrah dan Kufah. Aktivitas Politik: Hakim Kota Dainuri. Aktivitas
Jurnalistik: Menulis banyak kitab dalam berbagai fan ilmu, seperti:
ilmu keagamaan, sejarah, bahasa, sastra dan lain sebagainya. Beberapa contoh
karya-karya popularnya berjudul perseries sebagai berikut: Karya Seri
Tafsir: Ta`wil Musykil al Qur`an, I`rab al Qur`an, Tafsir Gharib al
Qur`an. Karya Seri Hadits: Ta`wil Mukhtalaf al Hadits, Kitab al Ikhtilaf fi al
Lafdz. Karya Seri Teologi: al Radd ala al Jahmiyah wa al Musyabbihah. Karya
Seri Keagamaan: Kitab al Shiyam. Karya Seri Sejarah: Dilalat al Nubuwah, Kitab
al Anwa`, Uyun al Akhbar, al Muyassar wa al Qadah, Kitab al Ma`arif. Karya Seri
Sastra & Bahasa: Adab al Katib, al Syi`ru wa al Syu`ara`, Shina`ah al
Kitabah, Alat al Katib, al Masa`il wa al Ajwibah, Alfadh al Magharrabah
bi al Alfadz al Mu`arrabah, Kitab al Kabir, Uyun al Syi`r, Kitab al
Taqfiyah. (al A`lam, al Zarakli al Dimasyqi, 4/137). Pro Madzhab: Hanbali-an
sich (versi Majmu` Fatawa Ibn Taimiyah,17/367) Pro Ideologi: Pejuang
Aswaja sentries (versi al Dzahabi, 13/299). Tempat & Tahun wafat:
Baghdad; Rajab, 276 H./ 889 M. (profile lebih lengkap, lihat: Muqaddimah
Ta`wil Musykil al Qur`an, Ibn Qutaibah).
D. Karya
dan Spesifikasi
Nama
Kitab: Adab al Katib / Adab al Kuttab (Kode Etik Jurnalistik Islam). Penulis:
Abu Muhammad Abdullah Ibn Qutaibah al Dainuri. Jumlah Juz: 1 Juz.
Deskripsi: Kitab Adab al Kuttab atau popular dengan sebutan Adab al Katib
adalah kitab yang pertama kali ditulis dalam bidang sastra bahasa, ia merupakan
satu dari empat kitab referensi primer dalam bidang kesusastraan dan
kejurnalistikan. Selain Adab al Katib, terdapat juga al Bayan wa al Tabyin
karya al Jahidh (tokoh sastrawan mu`tazili), al Kamil karya al Mubarrad, al
Nawadir karya Abi Ali al Qali, sementara karya-karya lain yang serupa dalam
bidang sastra dan bahasa, merupakan turunan dari empat kitab pokok tersebut.
Yang membedakan dalam Adab al Katib terdapat poin pembahasan, tentang tata cara
kepenulisan yang diadopsi dari metode jurnalistik muslim terkemuka yang dahulu
berafiliasi pada ide ulama Bashriyin dan Kufiyin.
Kitab
ini ditulis secara khusus oleh Ibn Qutaibah untuk menteri Ubaidillah bin Yahya
bin Khaqan (seorang menteri pada masa kepemimpinan al Mutawakkil `Alallah, al
Khalifah al `Abbasi), sejak dahulu kitab ini sudah mengalami proses cetak
berulang kali, pada tahun 1847 di Lebzig yang disponsori seorang orientalis
bernama Esbroel, dengan beberapa proses sunting dan editing serta diterjemah
dalam bahasa Flemankia, kemudian di cetak ulang di Leden tahun 1901, disponsori
Max Grafit dengan beberapa komentar dan penambahan catatan berbahasa Flemankia,
kemudian di cetak lagi di Leden tahun 1901 disponsori Max Grafit dengan
pembenahan dalam bahasa al Mania.
Ibn
Khallikan al Irbili dalam al Wafayat mengatakan; banyak intelektual mengkritik
Adab al Katib sebagai khutbah (pengantar) tanpa kitab (substansi), sementara
Islah al Mantiq karya Ya`kub Ibn al Sikiet adalah kitab (substansi) tanpa
khutbah (pengantar); menurutnya, pernyataan ini sebentuk ta`assub, atau
fanatisme saja, sebab Adab al Katib sesungguhnya memuat secara komprehenship
berbagai hal, ia bahkan menyebutnya sebagai kitab yang terdiri dari banyak
pembahasan penting, ia sebuah karya bernilai tinggi, unik, kreatif, inovatif ,
inspiratif, dan penulisnya multi talenta, mufannan. Menurut
Khallikan, mestinya tidak harus ada orang yang berkomentar miring tentang Adab
al Kitab dengan bahasa destruktif seperti itu, terkecuali sekedar mengatakan
pengantarnya cukup banyak, yang kemudian berbeda dengan materi Ishlah al
Manthiq Ibn Sakiet yang tanpa pengantar. (Wafyat al A`yan wa Anba` Abna al
Zaman 3/43).
Hal
lain yang sering disorot, adalah debatable penyebutan nama antara Adab al Katib
dan Adab al Kuttab, al Khathib, Ibn Anbari, dan Ibn al Sayyid al Bathliusi (w.
421 H.), lebih setuju memilih nama al Kuttab, bahkan beliau menulis
komentar atas kitab Adab al Katib ini dengan memberi judul al Iqtidhab fi Syarh
Adab al Kuttab, yang telah dicetak di percetakan Adabiyah Bairut Lebanon tahun
1901M. (kitab Iqtidhab ini tersedia di Maktabah Kuliah, terbitan Dar al Jail).
Dalam
pandangan Ibn Taimiyah, seperti ditulis dalam tafsir surat al Ikhlas, bahwa Ibn
Qutaibah bagi kaum Ahlu Sunnah berada di posisi al Jahidh (tokoh sastra dan
bahasa yang mengusung missi ideologi Mu`tazili), Ibn Qutaibah menurutnya,
merupakan pejuang dan corong Ahlu Sunnah, ia sama persis dengan al Jahidh.
Ketokohannya
telah diakui banyak orang, terlebih masyarakat Maroko,-Maghrib-, bahkan
dikalangan mereka, sebuah rumah yang tidak memiliki koleksi karya Ibn Qutaibah,
dianggap tidak ada kebaikannya. Ibn Qutaibah termasuk jurnalis produktif, ia
menulis karya intelektual berjumlah sekira tiga ratusan, namun demikian
pro-kontra keintelektualitasan dan ketokohannya tetap menjadi area perdebatan
pemerhati sejarah tokoh-tokoh terkemuka dalam dunia islam. Terlepas dari banyak
yang memuji, mengagumi dan mengapresiasi karyanya, ia tetaplah manusia biasa,
sehingga manusiawi, jika ia juga mendapat kritik tajam dari Ibn Khaldun dalam
Muqaddimahnya, bahwa; karya beliau tidak terlepas dari unsur
subyektifitas,-hawa nafsu-, dan inilah mungkin, sebagian sebab yang
menjadikan dirinya mendustakan al Jahidh, demikian analisa Ibn Khaldun-wallahu
a`lam-.
Namun,
sebagai pribadi cerdas, ia tetap patut di apresiasi dan dibanggakan, ia berhak
mendapat banyak pengagum setia yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga demi
menjaga, mengawal dan mengabadikan buah fikirnya yang telah tertuang dalam
bentuk karya; Dari para penganut dan pengagum ide itulah, kesinambungan spirit
kejurnalistikannya dapat dilestarikan. Dan dengan cara mempelajari,
mendiskusikan dan menulis kembali ide-ide besar tentang karya para tokoh
terkemuka dunia,-Insya Allah-, kita bisa menjadi generasi jurnalis
muslim sejati, seperti halnya al Anbari yang telah menulis komentar khusus
untuk Adab al Katib ini, berjudul; Qabasat al Thalib fi Syarh Khutbah Adab al
Katib, al Jawaliqi sang mujaddid al lughah, yang menulis syarh Adab
al Katib, dan yang fenomenal, adalah karya al Zajjaji (w. 340 H.) sebuah kitab
syarah pertama yang ditulis mengomentari ide kreatif Ibn Qutaibah, berjudul
tafsir risalah Adab al Kuttab.
E. Substansi
Karya
Kode
Etik Jurnalistik Islam; Upaya Membentuk Karakteristik Jurnalis Muslim.
Pada
prinsipnya, Ibn Qutaibah menyebut dua hal pokok terkait dunia jurnalistik,
menurutnya, dua hal pokok itulah yang akan menjadi penopang ketangkasan
seseorang dalam menyampaikan informasi, bahkan ia mengkategorikan sebagai
sumber utama, kepadanya hal- ihwal kejurnalistikan berporos; Dua hal pokok itu
adalah: 1. `Aql (Kecemerlangan rasio). 2. Jaudah al Qarihah (Kecerdasan dan
ketangkasan menyampaikan wawasan atau opini dalam bentuk cakrawala pemikiran
inovatif). Itulah dua nomor penting yang tak mungkin di kesampingkan
keberadaannya. Sungguh, dengan bermodal dua hal itu, -insya Allah- dapat
menutup celah kekurangsempurnaan materi intelektualitas yang kita miliki;
Justeru, modal kaya materi ilmu saja (`alim), tak dapat menjamin keparipurnaan
seseorang dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam ranah praksis, jika
tidak diimbangi keseriusan mendayagunakan kemampuan akal fikirnya, apalagi bila
sampai pada tingkat menafikan.
Sebagai
langkah pembuka menuju target mulia tersebut, Ibn Qutaibah menawarkan
tahapan-tahapan penting untuk diperhatikan secara serius oleh kaum jurnalis
muslim, sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat, dapat memberi
manfa`at, dengan kode etik itu, jurnalis muslim diharapkan mampu menjadi
pribadi yang bertanggungjawab dalam menunaikan tugas kejurnalistikan, kokoh
pendirian, teguh memegang prinsip, berjalan di jalur lurus yang terang
benderang, dan terbebas dari duri kemunafikan ketika hendak menapakkan kaki
perjuangan dalam setiap langkahnya.
wal
hashil,
dengan mengamalkan kode etik ini, seorang jurnalis akan memiliki karakter khas
sesuai dengan tuntunan syari`at islam. Kode etik jurnalistik Islam versi Ibn
Qutaibah tersebut, dapat saya simpulkan sebagai berikut :
1. Akhlaq
Mulia, Sebelum Indah Berbahasa
Bagi
masyarakat Jawa, pribahasa semisal “Ajining rogo soko busono, ajining
lathi soko bosho, lan ajining ati soko sing moho kuwoso”, merupakan
petuah adat istiadat lokal yang bersanding kekutan moral spiritual. Nasihat
ini, bila disederhanakan artinya, maka akan mengarah pada kekuatan ide yang
diwacanakan Ibn Qutaibah dalam Adab al Katib. Jika anda sepaham dan dapat
menerima ide pemikirannya, maka, sebagai aktivis jurnalis muslim, kita perlu
menegaskan karakter pribadi, sebelum piawai menyusun kata-kata indah.
Seorang jurnalis muslim, hendaknya terlebih dahulu harus indah dalam
berprilaku, berbudi pekerti baik, berakhlak mulia, menjaga kepribadiannya dari
kenistaan sifat menggunjing, dan berkata dusta, menjahui hal-hal yang
menjadikan pernyataannya tidak memiliki makna dan nilai apa-apa, dan tidak
bersenda gurau berlebihan. Semua sifat-sifat itu, hendaknya dikuasai terlebih
dahulu sebelum kita memantapkan diri untuk memilih medan juang berasas pola
fikir, yang bermuara pada keindahan tata bahasa dan keafsahan lafdhi.
Ajakan
ini, bukan tanpa dasar, sebab sejak awal, kita sebagai generasi penerus kaum
jurnalis muslim, telah diajak bersepakat, untuk menjadikan Nabi Muhammad
sebagai kiblat dalam segala hal. Apapun alasannya, perjuangan menyebarkan missi
risalah nubuwah tetap harus dipertahankan dengan prinsip-prinsip nabawiyah
(shidiq, tabligh, amanah dan fathanah) bukan prinsip syaithaniyah (kidzib,
kitman, khiyanah, dan baladah). Sungguh diutusnya Nabi adalah demi
menyempurnakan akhlaq manusia-“innama bu`itstu li utammima makarimal
akhlaq”, “innama bu`itstu mu`allima”-. Dan demi tujuan mulia itulah,
syariat islam memberi batasan-batasan jelas dalam proses penyebaran berita atau
informasi, termasuk dalam hal kepenulisan sebuah ilmu pengetahuan sekalipun,
sehingga mafhum kebebasan pers, dalam konsep islam harus diarahkan pada
pengertian kebebasan setiap pribadi untuk menyebarkan informasi apapun yang
layak dikonsumsi publik dan masih dalam koridor atau konteks yang bisa
dibenarkan syari`at, bukan kebebasan yang lepas batas, dan bukan pula kebebasan
berdasar hak kreativitas atas nama kebebasan pers belaka atau pasar media
dengan tanpa mengindahkan ajaran agama.
2. Jujur
dalam Setiap Situasi
Nabi
Muhammad sebagai-qudwah hasanah- telah memberi contoh nyata bagaimana
seharusnya kita senantiasa bersifat jujur dalam setiap situasi, bahkan dalam
keadaan bersenda gurau sekalipun. Diriwayatkan: bahwasanya Nabi pernah bersenda
gurau, namun demikian beliau tetap berkata jujur dalam keadaan yang seperti
itu, Beliau tidak menyatakan sesuatu kecuali sebuah kebenaran, sebagaimana
sewaktu bergurau dengan seorang nenek dari Anshar, ketika nenek tersebut
memohon kepada baginda Nabi untuk di doakan masuk surga, Beliau lantas
bersabda; bahwa sesungguhnya nenek-nenek tidak masuk surga. Pernyataan itu,
benar adanya, walaupun sepintas kilas tampak bergurau dan seakan bercanda,
sebab dalam riwayat hadits Aisyah itu, Nabi menyatakan, bahwa di surga,
nenek-nenek akan berubah menjadi gadis perawan yang tentunya ia hidup dalam
keadaan sejahtera dan dalam kondisi badan segar bugar, inilah sebabnya, kenapa
Nabi bersabda:
عن عائشة رضي الله عنها، أن نبي الله صلى الله عليه
وآله وسلم أتته عجوز من الأنصار فقالت: يا رسول الله، ادع الله أن يدخلني الجنة،
فقال نبي الله صلى الله عليه وآله وسلم: إن الجنة لا يدخلها عجوز، فذهب نبي الله
صلى الله عليه وآله وسلم فصلى، ثم رجع إلى عائشة فقالت: لقد لقيت من كلمتك مشقة
وشدة. فقال نبي الله صلى الله عليه وآله وسلم: إن ذاك كذاك، إن الله تعالى إذا
أدخلهن الجنة، حولهن أبكارا.(1)
Jurnalis,
hendaknya mampu memposisikan diri secara proporsional, menulis berita dengan
bahasa sederhana sesuai keberadaan dirinya, memperhatikan posisi pembaca yang
ditarget sebagaimana mestinya, sehingga tidak muncul diksi silang yang
menggaggu konsentrasi dan kenyamanan pembaca, ia juga harus menulis sesuai data
dan fakta, tidak mendiskreditkan seseorang yang seharusnya dipuji, dan tidak
memoles kalimat dengan premis kalimat dan pilihan kata-kata indah untuk
mendeskripsikan seseorang yang seseungguhnya hina.
3. Obyektif
dan Konstruktif
Menurut
Ibn Qutaibah, kini banyak para jurnalis yang tidak obyektif, tidak
adil dalam menulis berita, ia dengan sengaja tidak melakukan kroschek
data, bahkan ada yang bersikap pragmatism, bias, dan ambigu dalam menyampaikan
fakta yang sebenarnya. Sehingga, ia tidak mampu membedakan antara satu
fakta dengan fakta yang lain, antara opini dan wacana yang berbeda, ia justeru
menulis dengan menggunakan standar ganda berasas pemerataan deskripsi semata,
antara satu obyek dengan obyek lainnya,tidak memperhatikan apa yang ditulis,
untuk siapa ia menulis, dan efek apa yang akan terjadi ketika seseorang membaca
tulisan tersebut. Mestinya jurnalis harus proporsional, konstruktif dan
obyektif dalam menilai sesuatu.
4. Proporsional
dan Netral
Dalam
Adab al Katib, Ibn Qutaibah mengutip Abrawiz, bahwa ia pernah mengatakan pada
sekretarisnya, tentang keharusan jurnalis bersikap proporsional dalam
menempatkan sebuah pernyataan. Komunikasi dalam perspektif Abrawiz dapat ditalar
dalam empat konsep, yaitu: 1. Pertanyaanmu pada sesuatu, سؤالك الشيء 2. Pertanyaanmu tentang sesuatu, وسؤالك عن الشيء 3. Perintahmu terhadap sesuatu, وأمرك بالشيء dan 4. Informasimu tentang sesuatu, وخبرُك عن الشيء.
Pokok-pokok
kategoris itu, disebut sebagai hal penting yang tak butuh disempurnakan dengan
poin lain, jika empat hal itu tidak terpenuhi, maka akan terjadi ketimpangan
konstruksi komunikasi yang sedang kita lakukan. Artinya; dalam komunikasi
massa, ketika kita memohon sesuatu pada seseorang, maka harus disampaikan
dengan tata cara yang baiak, sopan, menggunakan tutur kata yang lemah lembut
dan mudah dimengerti, (إذا طلبتَ فأسجِحْ).
Kemudian, tatkala kita mau bertanya, maka harus jelas, (إذا سألت فأوضِح). Bila hendak menyuruh atau memerintah,
maka harus bijaksana, (أمرتَ فأحْكِم إذا)
dan jika ingin mengimformasikan sesuatu, maka harus dipastikan kebenaran
datanya, ( إذا أخبرتَ فحقق), dengan melakukan
kroschek validitas data terlebih dahulu sebelum menyebarluaskan informasi
tertentu.
Terkait
proses transformasi informasi ini, Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan al Buthi, dalam
muqaddimah Qubra al Yaqiniyat mengingatkan kita dengan tegas dan lugas; “Idza
kunta mudda`iyan, faddalil; Wa idza kunta naqilan, fashshahih”, bila anda
menyatakan sesuatu, sertakan bukti, dan bila anda mengutip, katakan dengan
sebenarnya; sebagaimana sumber aslinya. Jangan kemudian didistorsi demi
kepentingan-kepentingan politis sesaat, demi pesanan sponsor atau karena
tawar-menawar pasar media tertentu, seperti yang banyak terjadi di kalangan
jurnalis materialistis.
5. Sistematis
dan Praktis (Jurnalisasi al Qur`an for Exemple)
Kaum
Jurnalis, menurut frem wacana Ibn Qutaibah, laiknya menyampaikan ide-ide
cemerlang-gemilang, brilian-menawan, tetapi ia harus memperhatikan kebutuhan
pembaca, dengan tetap menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan dan tidak
berlebihan dalam mengurangi dan menambahkan hal-hal yang tidak di butuhkan, ia
juga harus mengacu pada kerangka tulis yang baik, sehingga tercipta kalimat
agung yang singkat, padat, ringkas dan jelas; Namun demikian, hal itu, bukan
keharusan mutlaq dalam setiap proses pemberitaan dan penulisan informasi, akan
tetapi, ia harus bisa bersikap proporsional sesuai konteks dan situasi yang
melingkupinya,- fa likulli maqamin, maqal-. Ibn Qutaibah berharap,
kaum jurnalis muslim dapat meniru tata cara atau sistematika penulisan al
Qur`an.
Sebagaimana
maklum, dalam beberapa ayat al Qur`an, sesekali waktu Allah subhanahu wa ta`ala
menyampaikan ayat dalam bentuk frase singkat padat. Namun, pada kesempatan
lain, Allah menurunkan ayat yang cukup panjang, mendetail dan bersifat
diskriptif. Bukti ini, mengindikasikan bahwa, tidak selamanya sistem menulis
singkat padat itu baik; tetapi, baik dan tidaknya sistematika penulisan, bergantung
pada kebutuhan, maksud dan tujuan penyampaian informasi yang seharusnya bisa
diterima pembaca dengan sempurna, sebab memang ada informasi yang hanya cukup
disampaikan sekali, dan ada pula yang mesti diulang berkali-kali. Ada kalimat
yang harus ditegaskan dengan kalimat lain, dan ada pula yang cukup dengan
disampaikan menggunakan bahasa sederhana dan seadanya. Situasi seperti inilah,
yang oleh ulama nuhat dikaitkan dengan pembahasan bab al kalam
yang harus mengandung substansi arti al mufid, yaitu; prinsip
penyampaian sebuah berita akurat, informatif dan komunikatif kepada pendengar
atau pembaca, dengan prasyarat tidak memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain
seputar pernyataan yang disampaikan. Ibn Qasim, dalam Hasyiyah al Ajurumiyah
bab kalam menulis “al Mufid: ma afada faidatan yahsunu sukutul mutakallim
`alaiha, bihaitsu la yashiru assami` muntadziran lisyai`in akhar”.
6. Konseptual
dan Kontekstual
Praktisnya,
jurnalis muslim harus memenuhi prasyarat sebagaimana telah disebutkan, serta
melengkapi pribadinya dengan kepiawaian memilih kosa kata dalam menata bahasa,
sehingga sesuai dengan obyek dan kebutuhan pembaca, -khathibunnas bi qadri
`uqulihim-. Karena itulah, ketika seorang jurnalis hendak menulis opini
tertentu, atau essai heroistis misalnya, dengan tujuan membangkitkan semangat
juang para pemuda bangsa, dalam membela dan mempertahankan kedaulatan
negaranya, maka ia harus bisa membedakan kerangka dan setting bahasa sesuai
situasi dan kondisi obyek pembacanya, ia harus cerdas memilih kata atau kalimat
yang akan disampaikan, ia harus mampu membedakan substansi perkalimat, antara
ketika ia menulis narasi fiksi atau cerita beraroma cinta, dengan ketika ia
memaparkan laras data dan tulisan fakta.
Tulisan
heroism yang berisi ajakan semangat berjuang misalnya, membutuhkan pilihan
diksi kata yang tepat, singkat, padat, tegas, lugas dan mengena di hati (ijaz),
sementara gubahan kata-kata cinta, lebih terasa berarti bila di tulis dengan
aroma khayali, sehingga membutuhkan deskripsi yang cukup panjang, syahdu, lebay
dan berlika-liku (ithnab). Perhatikan contoh berikut ini, tentang
kesalahan penyusunan dan pemilihan diksi kata, yang menurut Ibn Qutaibah dalam
Adab al Katib, hal ini dianggap tidak benar dan tidak tepat sasar; Namun, -ma`al
asaf- ia tidak mengandaikan contoh nyata sebagai pengganti yang
diinginkan menurut perspektifnya.
ولو كتب كاتب إلى أهل بلد في الدعاء إلى الطاعة
والتحذير عن المعصية كتاب يزيد بن الوليد إلى مروان حين بلغه عنه تلكّؤُهُ في
بيعته. " أمَّا بعد؛ فإني أراكَ تُقدِّم رِجْلاً وتؤخِّرُ أُخرى، فاعتمدْ على
أيتهما شئت، والسلام "؛ لم يعمل هذا الكلام في أنْفُسها عملهُ في نفس مروان،
ولكن الصواب أن يُطيل ويُكرِّر، ويعيد ويُبدئ، ويُحذِّر ويُنذِرُ.(1)
Seorang
jurnalis, selain dituntut memiliki skill dzahir, ia juga harus memperhatikan
kemuliaan jiwanya, menjaga martabat diri, bersikap pema`af, berlaku adil,
sabar, senantiasa berpihak pada kebenaran, tidak egois, dan tidak sombong, maka
dengan sikap itu, -insya Allah-, keberadaan kita sebagai aktivis
jurnalis muslim dapat segera mewujudkan harapan-harapan mulia, sebagaimana
harapan Ibn Qutaibah dan para tokoh muslim lainnya.
F. Penutup
Dan,
setelah dengan bersungguh-sungguh melakukan semua ikhtiar tersebut, kita hanya
bisa berpasrah diri, seraya berdoa khusyu`, semoga perjuangan bermodal ilmu,
akal, jaudah qarihah, qalam dan qirthas ini, dicatat oleh Allah subhanahu wa
ta`ala sebagai amal perjuangan dalam rangka ikut serta menyampaikan dan
menyebarkan kebenaran ajaran islam, sebagaimana perintah Nabi Muhammad, “Ballighu
`Anni walau Ayat”. Sungguh, pena dan kertas bagi seorang jurnalis, laksana
kuda perang berselendang pedang; dengan itu, jurnalis muslim berjuang
menegakkan kalimat haq, setiap tetes tinta yang ia toreh-goreskan di atas
kertas, kelak akan menjadi saksi dan bukti penuh arti, ia juga sebagai
perantara yang akan mengantarkan setiap jurnalis muslim berkarakter nabawi
kepada kemenangan gemilang, kejayaaan abadi, dan kesejahteraan sejati, duniawi
dan ukhrawi, tetapi, ia pulalah yang akan membawa kita celaka menuju pintu
neraka.-Na`udzu billahi min dzalik-.
Ibn
Shafwan pernah mengingatkan Abi Tammam: “Qaumun idza `arafu `adawata hasidin *
Safakuddima` bi asinnatil aqlami. Waladharbatun min Katibin bi bananihi * Amdha
wa ablaghu min raqiqi husami”.(al Kassyaf wa al Bayan; Ahmad al
Tsa`alabi.10/8). Sekelompok orang, ketika mengerti sedang didengki, Mereka menggunakan
mata pena sebagai alat pertumpahan darah. Sungguh, tarian jari-jemari seorang
jurnalis, Akan teras lebih mengena dan menyayat hati, dibanding tajam ujung
sebilah pedang sakti. Karena itulah; Uktub ahsana ma
tasma`, Wahfadh ahsana ma taktub. Wa dumtum `ala Qalamil Haq, Wa `alal Bathili
Zahiq. Qulil Haqqa, walau kana murra. Faman kana yu`minu billah wal yaumil
akhiri, fal yaqul khaira aw liyashmut.
Semangat
Belajar, Selamat Berjuang, Sukses Berkarya dan Salam Jurnalis. Akhirnya; Nun,
wal Qalami, wama Yasthurun, Ma anta bini`mati Rabbika bi majnun, Wa inna laka
la ajran ghaira mamnun, Wa innaka la `ala khuluqin `adhim…, Shadaqallahul
`aliyul `adhim, wa shadaqa Rasuluhun Nabiyyul karim, wa nahnu `ala dzalika
minassyahidin, wal Hamdulillahi Rabbil `alamin. Amin!.
G. Referensi
1. Al
Qur`an al Karim, 2. Tafsir al Bahr al Madid; Ahmad al Fasi. 3. Jami` al
Ahadits; Jalaluddin al Suyuthi. 4. Adab al Katib; Ibn Qutaibah. 5. Kubra al
Yaqiniyat; Sa`id Ramadhan al Buthi. 6. Muqaddimah Ibn Khaldun; Abdurrahman Ibn
Khaldun. 6. Hasyiyah al Ajurumiyah; Ibn Qasim. 7. al A`lam; al Zarakli al
Dimasyqi. 8. Siyar A`lam al Nubala`; Muhammad al Dzahabi. 9. Wafyat al A`yan wa
Anba` Abna` al Zaman; Ibn Khallikan al Irbili. 10. Ta`wil Musykil al Qur`an;
Ibn Qutaibah.12. Syarh Adab al Katib; Imam al Jawaliqi. 13. Islah al Manthiq;
Ya`qub Ibn Sakiet. 14. al Iqtidhab fi Syarh Adab al kuttab; Ibn al Sayyid al
Bathliusi.15. al Kassyaf wa al Bayan an Tafsir al Qur`an; Ahmad al
Tsa`alabi.10/8. Tarim: Pukul 12.12.12/12/12/2012.
*Penulis
adalah Jurnalis Hadhramaut, Alumnus Universitas Al Ahgaff Republik Yaman
2012.
(1)
lihat Mu'jam al Ausath, karya sulaiman al Thobroni, juz 5, hal, 357. Jami' al
Ahadist, karya as Shuyuthi, juz 7 hal, 235.
(1)
Adab al Kitab, karya Ibn Qutaibah, hal: 20
0 Komentar