Kebebasan Pers dan Upaya Membentuk Jurnalis Muslim Ideal


Kebebasan Pers dan Upaya Membentuk Jurnalis Muslim Ideal [Reportase Bedah Buku Adabul Katib karya Ibnu Qutaibah. Ahad, 23/12/20
mengkaji Kode etik Jurnalistik islam dalam Perspektif Ibnu qutaibah bersama Khatibul Umam

           Sebagai salah satu bagian yang terpenting di zaman modern ini Jurnalistik mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu komunikasi. Bukan hanya sebagai sarana informasi belaka yang dinikmati oleh pembaca, tetapi jurnalistik merupakan sarana yang apabila diracik dengan tangan – tangan hebat  bisa berefek pada kehidupan sebuah individu, masyarakat, dan bahkan bisa mengubah dunia.

            Sebenarnya kegiatan jurnalistik telah banyak digeluti ulama ulama muslim sejak ribuan tahun yang lalu.  Hal ini terjadi mungkin karena orang yang pertama kali menorehkan tinta dengan menggunakan ujung pena sebagai alat torehnya adalah Nabiyullah Idris As. sebagaimana di sebutkan Ahmad Al-Fasi dalam al Bahr al-Majid fii Tafsir al-Qur'an. Maka tidak heran jika kita banyak menemukan tokoh-tokoh muslim yang menghasilkan berbagai macam karya tulis monumental dengan bermacam macam disiplin ilmu.

Shahafah adalah hal ilhwal terkait pewartaan dan penulisan sebuah berita. Ia adalah aktivitas keilmuan, yang sejatinya tidak bisa dilepaskan dari agama Islam. Namun tantangan kita selanjutnya tidak sederhana. Dunia pers telah menunjukkan wajah barunya. Bahkan kekuatan pers bisa dikatakan lebih dahsyat dari kekuatan harta. Dalam dunia perwayangan, posisi pers nyaris ibarat sebuah dalang. Ia mampu menggerakkan kesana kemari opini publik.

Di tengah carut marut kebebasan pers yang berkembang saat ini, lantas muncul pertanyaan serius. Adakah konsep pers dan jurnalistik memiliki transenden yang nyata dalam turots Islam ?. ataukah justru kode etik yang berkembang saat ini hanya semata-mata inovasi Barat?

Tak pernah ketinggalan untuk hadir mempertajam daya kritis dan analisis anggotanya,Forum Diskusi (FORDIS) Asosiasi Mahasiswa Indonesia Al-Ahgaff yang bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Hadramaut kembali menghelat diskusi bulanan dengan mengangkat tema: "Mengkaji Kode Etik Jurnalistik Islam dalam Perspektif Ibn Qutaibah". Acara yang digelar di Auditorium Fak. Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff, Tarim, pada Ahad (23/12) tersebut menghadirkan pembicara yang tak asing lagi dalam dunia Jurnalistik ; M. Khotibul Umam (mantan Korespokoresponden Hadramaut Info). Kehadiran moderator ; A. Khalilurrahman (Pimpinan Redaksi Majalah Aqwam Media) semakin mewarnai atmosfer diskusi pada malam itu.Diskusi yang dimulai pukul 20.15 KSA tersebut memfokuslam kajian pada pemikiran Ibnu Qutaibah yang digali dari salah satu Masterpiece-nya,Adab al-Katib.

Fokus kajian terhadap karya Ibnu Qutaibah tersebut tentu bukan tanpa alasan. Selain bisa dikatakan buku pertama yang mengulas tentang kode etik jurnalistik Islam, buku tersebut juga terlahir dari sastrawan asal Kota Baghdad, Irak, yang dinilai multitalenta. Bahkan, adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala’, memberikan predikat Ibnu Qutaibah sebagai garda Ahlussunnah yang terpercaya. Hal itulah yang menginspirasi pemakalah untuk memberikat predikat Ibnu Qutaibah sebagai “Aswaja Journalist“.

Setelah membuka acara dengan pembacaan Ummul Bayan, A. Khalilurrahman menyebutkan sekilas tentang biografi pemakalah. Pemakalah yang senantiasa menggebu-gebu dalam berpresentasi berpadu dengantrackrecord karirnyayang beraneka ragam, membuat para diskusan termotivasi untuk menjadikannya salah satu qudwah dalam  kehidupan berjunalistik.

Memulai presentasinya,  pria asal Sampang, Madura yang memiliki nama pena Umamel Samfanie ini menjelaskan bahwa derivasi makna dari term jurnalistik yang disampaikan oleh Ibnu Qutaibah akan menimbulkan beberapa tahapan pemaknaan  dari tahun ke tahun, terlebih kita yang yang hidup di zaman modern ini. Hal ini tentu sangat wajar. Mengingat term jurnalistik yang dikenal dalam masa hidup Ibnu Qutaibah belum berkembang luas sebagaimana sekarang. Sehingga bagi Umam, perlu adanya upaya eksplorasi terus-menerus dari generasi muslim setelahnya dalam mengkontesktualkan teori yang ia bangun.

Melalui karyanya tersebut, Ibnu Qutaibah tak hanya mampu memberikan prolog sebelum memasuki dunia kewartawanan. Namun ia juga berhasil mendialogkan sejumlah teori kepenulisan dengan nilai-nilai fundamental dalam Islam, dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai titik berpijak.

Narasumber Khatibul Umam sedang mempresentasikan makalah

“Kebebasan pers harus diimbangi dengan kode etik jurnalistik perspektif Islam,” tegas mantan ketua Formil yang baru saja menerbitkan buku Hahdramaut Corner tersebut.

Secara universal, kode etik dalam Adab al-Katib-nya Ibnu Qutaibah beranjak dari empat sifat Rasulullah Saw, yaitu ; kejujuran (al-shidiq), dapat dipercaya (al-amanah), menyampaikan (tabligh), dan kecerdasan (fathonah). Empat hal inilah  yang menjadi poros segala kegiatan jurnalistik.

Dalam Adabul Katib, Ibnu Qutaibah merincinya menjadi enam poin utama. Pertama, akhlak mulia sebelum indah berbahasa. Dua, jujur dalam setiap situasi. Tiga, obyektif dan konstruktif. Empat, proporsional dan netral. Lima, sistematis dan praktis. Dan yang terakhir, konseptual dan kontekstual. Keenam poin inilah yang harus dimiliki seorang jurnalis, bukan hanya sekedar teori, namun juga aplikasi nyata dalam menjalankan tugas kewartawanannya.
Keenam poin tersebut setidaknya menepis asumsi yang bermunculan bahwa konsep jurnalistik perspektif Ibnu Qutaibah telah tidak relevan karena  bahasanya yang terkesan jadul dan tidak layak untuk diimplementasikan di dunia jurnalistik modern ini. Sehingga, aktivis PCINU Yaman ini berharap agar kita sebagai penuntut ilmu khususnya yang bergelut dalam kesibukan jurnalistik,senantiasa me-review kembali bahasa apa yang cocok untuk diterapkan dengan tidak menafikan pemikiran Ibnu Qutaibah sebagai substansi dalam pokok pembahasan.

Memasuki pembahasan inti, narasumber mengutip pernyataan  Abrawiz terkait konsep komunikasi yang dapat dikerucutkan menjadi empat simpul primer, yaitu; permohonanmu terhadap sesuatu, pertanyaanmu tentang sesuatu, perintahmu terhadap sesuatu dan informasimu tentang sesuatu. Artinya, dalam komunikasi massa seorang jurnalis ketika memohon sesuatu harus disampaikan dengan cara yang baik, sopan santun juga menggunakan tutur kata yang lemah lembut dan dimengerti. Lalu tatkala jurnalis hendak  bertanya maka harus jelas, tatkala hendak memerintah maka harus bijaksana dan tatkala menyampaikan informasi maka harus dipastikan kevalidan datanya.

”Ketika semua empat hal ini telah terpenuhi, maka tidak akan terjadi ketimpangan konstruksi komunikasi yang dilakukan seorang jurnalis,” papar Umam.

Diskusi yang dihadiri kurang lebih tiga puluh mahasiswa diskusan tersebut semakin menarik saat memasuki sesi dialog. Terlebih, diantara diskusan ada yang melengkapi wacana malam itu dengan membawa beberapa referensi sekunder. Seperti buku Fikih Jurnalistik karya Faris Khoirul Anam, Lc. Sehingga fokus kajian menjadi semakin tajam. Acara yang berakhir pukul 23.00 KSA tersebut berakhir dengan kesimpulan : bahwa insan pers muslim harus mampu menjaga idealismenya bukan hanya sebagai seorang wartawan, namun juga seorang muslim yang membawa teguh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, kebebasan pers tidak harus berbenturan dengan norma agama.

Ke depan, Fordis akan terus berupaya melakukan pendedahan ke sejumlah karya – karya ulama, baik klasik maupun kontemporer. Hingga saat ini, Fordis memfokuskan kajiannya pada tiga ranah : kajian fikih (Dirosah Fiqhiyyah), usul fikih (Dirosah Ushuliyyah), dan pemikiran (Dirosah Fikriyyah). Diskusi yang dihelat dwipekanan tersebut, diisi dengan bedah buku atau telaah teori serta pemikiran yang disertai gagasan rekonstruksi terhadap konsep tersebut. Baik yang datang dari sarjana muslim klasik maupun kontemporer. Tentunya, dengan menggunakan perspektif dan frame Ahlusunnah wal Jama’ah.
”Dengan demikian, upaya mengkontekstualkan spirit Turots tidak hanya sekedar wacana,” ujar Khoirus Sholeh Ihsan, Ketua FORDIS AMI Periode 2012 – 2013 M.
[Reporter : A. Rajiv Mz]



Suasana Diskusi, semakin kritis dalam menganalisis

Posting Komentar

0 Komentar