Toleransi Antar Mazhab Fiqih Ahlussunnah Waljama’ah

Toleransi Antar Mazhab Fiqih Ahlussunnah Waljama’ah
Oleh: M. Hanafiyah*
***
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal :“Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijma’). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
1.            I.         Prolog
sudah menjadi keniscayaan yang fenomenal dikalangan umat Islam dengan adanya ikhtilaf fil-mazhab dalam masalah ushul dan furu’ yang bersifat dhonni yang kesemuanya ini merupakan pola dari kehidupan paramujtahidil ummah pada beberapa abad yang silam hingga saat ini. Sebagai hasil dari usaha keras yang berlandaskan dengan manhaj yang shohih maka perbedaan-perbedaan furu’iyah yang terjadi dikalangan para mujtahid tidak bisa dihindari dari ranah ijtihad, karena sejatinya masalah-masalah yang bertumpuh kepada dalil dhonni masih menyisakan celah bagi para ahli ijtihad untuk menghasilkan sebuah hukum yang berbeda dengan yang lain. Maka dari itu, ikhtilaf merupakan perkara yang kodratnya sudah ada pada setiap ijtihad, dan ia dengan setiap elemennya merupakan sebuah aspek dari sisi syari’at, dan merupakan susunan hukum-hukum secara global atas setiap permasalahan dan kejadian-kejadian yang sering dihadapi.(1)
Oleh karenanya, kita sebagai umat yang bertoleransi hendaknya memaklumi akan adanya perbedaan dalam menjalankan ibadah dengan meniadakan sifat fanatik tercela yang dalam hal ini akan mengakibatkan adanya perpecahan didalam tubuh umat Islam itu sendiri dan membuat musuh-musuh islam begitu mudah untuk mengalahkan dan menguasai kita, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah didalam kitab Majmu' fatawanya: "dan diantara sebab-sebab dikuasainya Negara-negara Timur Tengah oleh orang-orang Tatar karena banyaknya perpecahan dan fitnah-fitnah yang terjadi dalam mazhab-mazhab dan yang lain kala itu, sehingga engkau akan menemukan orang yang menggolongkan dirinya kepada Syafi’i akan berfanatik kepada mazhabnya atas mazhab abu Hanifah sampai mengeluarkannya dari agama, dan yang menggolongkan dirinya kepada abu Hanifah akan berfanatik kepada mazhabnya atas mazhab syafi’i sampai mengeluarkannya dari agama dan yang menggolongkan dirinya kepada imam Ahmad akan berfanatik kepada mazhabnya atas mazhab ini atau ini dan di sebelah Maghrib engkau temukan orang yang menisbatkan dirinya kepada imam Malik akan berfanatik kepada mazhabnya atas ini atau ini dan semua perpecahan dan perbedaan ini dilarang oleh Allah dan rasulNya".(2) 
Karena banyaknya masalah yang terkait dengan mazhab, maka dalam makalah ini penulis akan membatasi  dengan mazhab ahli fiqih saja, karena permasalahan fiqih dalilnya masih berporos di zona yang masih boleh berijtihad didalamnya karena dalilnya yang bersifat dhonni adapun permasalahan yang definitif seperti permasalahan akidah maka tidak ada celah untuk bisa berijtihad didalamnya karena hal itu tidak diperbolehkan dan hukumnya haram.(3) Dan memang fiqihlah yang harus dimaklumi perbedaannya, bahkan perbedaan yang terkandung didalamnya merupakan hal yang baik dan terpuji bukan hal yang buruk apalagi tercela.(4) Ibnu Qudamah berkata “Perbincangan Tentang Khilafiyah Dalam Masalah-masalah Furu' dan penisbatan kepada imam dalam masalah furu’ seperti golongan-golongan yang empat itu maka tidaklah tercela, karena sesungguhnya perbedaan dalam masalah furu’ merupaka rahmat dan orang-orang yang berelisih didalamnyapun terpuji dan mereka diberi pahala atas ijtihad mereka, dan perbedaan mereka merupakan rahmat yang luas dan kesepakatan mereka merupakan hujjah yang khot'I". (1)
1.          II.         Pembahasan
1.    A.          Mazhab Ditinjau Dari Aspek Kemunculan dan Penggunaan Istilahnya
Dalam pembahasan ini penulis akan membagi kedalam dua judul pokok terkait masalah mazhab serta penggunaan istilah mazhab itu sendiri melalui pendekatan sejarah .
A.I         Makna Mazhab dan Faktor Kemunculannya.
Mazhab secara bahasa berasal dari pecahan kata (ذهب) yang berarti: jalan, pergi,keyakinan, berpendapat. Maka mazhab adalah suatu jalan tertentu dalam menggali sebuah hukum syar’i yang berupa amalan dari dalil-dalil nya yang bersifat tafshili.(2)
Secara istilah menurut M. Hasballah Thaib bahwa mazhab itu ialah faham atau aliran pemikiran yang merupakan hasil kajian seseorang mujtahid tentang hukum dalam Islam yang digali dari ayat-ayat Al-Qur'an atau hadist yang dapat diijtihadkan,(3) sedangkan Muhammad Ali Hasan dalam “Perbandingan Mazhab Fikih” berpendapat bahwa mazhab adalah hasil ijtihad seorang Imam, (Mujtahid Mutlak) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah‑kaidah istinbath.(4)
Mazhab dari kedua pendapat diatas khusus pada bidang fikih, karena kata mazhab dapat digunakan juga pada selain fikih. Maka dari itu menurut kedua pendapat dapat diketahui bahwa mazhab berada dalam lingkungan ijtihad dan munculnya mazhab fikih bersumber dari perbedaan hasil ijtihad para Imam mujtahid. Periodesasi fikih mencatat bahwa keragaman pola dan sudut pandang serta latar belakang lingkungan masing‑masing ulama mempengaruhi hasil ijtihad para imam mujtahid.
Pada periode awal, semua keputusan hukum dikembalikan kepada Al-qur’an dan Al-hadits dengan ketetapan langsung dari Rasulullah SAW, adapun ijtihad yang terjadi ditengah-tengah para sahabat maka akan dikembalikan kepada Rasulullah SAW, namun bukan berarti hukum tersebut bersumber dari ijtihad nya sahabat melainkan itu dikenal dengan taqrir Nabi SAW terhadap suatu hukum sebagaimana yang terjadi kepada sahabat Sa’ad bin Mu’az ketika diutus oleh Rasulullah SAW kebani Quraizhoh dan iapun berkata: para pejuang yahudi Bani Quraizhoh diperangi dan anak cucu mereka ditawan, maka Nabi bersabda mengenai pendapatnya tadi: “sesungguhnya engkau telah memutuskan dengan hukum Allah”.(5)
Kemudian setelah wilayah Islam meluas dengan beberapa penaklukan yang terjadi dimasa pemerintahan khalifah Abu bakar, umar, dan yang lain, dan orang-orang dari berbagai bangsa yang ditakluki masuk Islam dengan membawa kebudayaan serta adat dan istiadat yang tak pernah didengar disekitar tanah Arab, maka mulai bermunculanlah pelbagai problem yang hukumnya tidak tercantum didalam Al-qur'an dan Sunnah, maka terpaksa para sahabat pada saat itu melakukan ijtihad yang prakteknya telah dilegalisasi oleh Nabi sendiri pada saat beliau masih hidup(6) hingga menghasikan sebuah hukum untuk menjawab permasalahan, dan sumber hukum syar’i pada periode sahabat merujuk kepada empat: Al-qur’an, As-sunnah, Ijma’, dan qiyas yang berupa pemikiran.(7) Dan pada periode selanjutnya yaitu pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan setelahnya mereka juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang begitu kompleks dan rumit bahkan lebih luas dan banyak dari sebelumnya, sehingga menuntut mereka untuk berijtihad lebih keras dari sebelumnya untuk menemukan metode baru dalam menggali sebuah hukum-hukum syar’i dan ada banyak metode selain Al-qur’an dan As-sunnah yang didapati pada periode ini diantaranya:  Al-Istihsan, Al-hiyal As-syar’iah, Al-maslahatul Mursalah, Qaul As-sahabi, Al-istishab, ‘Amal Ahlu madinah, Saddu Ad-dzarai’, syari’ah man Qoblana dan yang lain-lain.
Dan selanjutnya keseluruhan hukum-hukum diatas yang ditetapkan para mujtahid setelah masa Rasulullah SAW itu oleh beberapa pengikutnya dijadikan rujukan dan antara satu Imam mujtahid dengan lainnya mempunyai sudut pandang hukum yang berbeda, sehingga pengikut-pengikutnya membentuk pola‑pola khusus dalam memahami konteks ayat ataupun menjawab peristiwa‑peristiwa yang timbul di kemudian hari, apalagi para pengikut Imam mujtahid bertambah banyak tersebar di berbagai daerah dan secara alamiyah terlembaga dalam satu sandaran hukum, hal inilah salah satu penyebab munculnya mazhab fikih Islam.
A.II        Penggunaan Istilah Mazhab Dari Aspek Sejarah
Jika ditilik sekilas dari segi sejarah, maka istilah mazhab baru dikenal dan digunakan oleh para ulama pada abad ke empat hijriah, dengan bukti munculnya beberapa judul kitab taraajim ulama’ yang disusun pada saat itu. Ini bermula dengan munculnya istilah syafi’iah atau syafi’iyyin sebagai sebutan bagi para pengikut imam syafi'i sebagai akibat dari kuatnya hubungan antara para pengikut dengan imamnya sehingga membedakan mereka dengan pengikut-pengikut imam mujtahid yang lain. Oleh karena itu, muncullah istilah mazhab syafi’i sebagai penisbatan kepada orang yang berijtihad dan apa yang telah disusunnya dan dia itu adalah imam Syafi’i. Dan dalam tahapan selanjutnya istilah-istilah inipun mulai berpindah-pidah dari lidah kelidah untuk menisbatkan ulama-ulama dan para muridnya di negri timur Islam.
Dan pada masa kurun keempat istilah inipun telah lumrah dalam mengenal istilah orang alim yang dinisbatkan kepada mazhab fiqihnya, disamping adanya tambahan-tambahan dalam menisbatkan kepada nama negaranya, atau kepada kabilahnya contohnya: fulan As-syairazi As-syafi’i atau fulan Al-qurasyi As-syafi’i dan yang lain-lain. Sementara ulma-ulama pada kurun pertama dan kedua tidak pernah menisbatkan dirinya kepada seorangpun dari guru-gurunya dan contoh yang paling jelas dalam hal ini ialah imam Syafi’I sendiri, karena tidak ada seorangpun yang menamakan nya dengan Muhammad bin Idris As-syafi’i Al-maliki atau As-syafi’i Az-zinji dan sama halnya dengan Abu hanifah, Sufyan At-tsauri, mupun ulama-ulama mujtahidin yang lain.(1)
A.III         Munculnya  Fanatisme dalam Mazhab
Sempitnya ranah ijtihad membuat kebanyakan para pengikut dari berbagai kalangan mazhab ahli fiqih menyibukkan diri dalam mengembangkan fiqih imamnya sendiri. Hal ini disebabkan karena kebanyakan para ulama meninggalkan perangkat-perangkat ijtihad sebagai potensi dan bakat untuk menggali hukum dari Al-qur’an dan As-sunnah dan berpaling kepada mengimitasi mazhab tertentu. Pada kurun keempat dan kelima yang berkisar antara tahun 404-505 Hijriah tercatat banyak sekali perdebatan-perdebatan yang berlangsung antara para ulama dalam membela mazhab imamnya hingga melewati batas kepada memandang lemah dan bodoh akan mazhab yang lain oleh karena itu maka berubalah perdebatan ilmiah menjadi perdebatan yang tercelah yang tak pernah berlaku pada masa imam mujtahid terdahulu, sebagai akibatnya maka sebagaian besar mereka terjatuh kepada lembah berdarah hanya demi membela mazhab imamnya sekalipun itu lemah.
Contoh kecil dari pemandangan fanatisme mazhab ini ialah apa yang pernah dituliskan oleh imam Haramain didalam kitabnya “Mughitsul Al-kholqi fi Tarjihi Qaulul Haq” didalamnya dipenuhi dali-dalil yang berbeda-beda untuk mentarjih mazhab imam Syafi’I atas mazhab imam Abi hanifah dan imam Malik. Ia berkata didalam kitabnya tersebut: “maka kami katakan bahwasanya wajib atas setiap orang-orang yang berakal dan segenap kaum muslimin Timur dan Barat untuk menganut mazhab syafi’i dan wajib pula kepada rakyat jelata yang bodoh maupun rendah untuk menganut mazhab Syafi’I sekiranya mereka itu tidak akan menyimpang darinya dalam berpindah dan tidak menginginkan penggantinya.(2)
              Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi fanatik mazhab yang negative kedalam realita umat Islam pada masa lampau dan sekarang, diantanya ialah:
1.    Meninggalkan Ilmu Ijtihad dan perangkat-perangkatnya
2.    Memberantas orang-orang yang bergelut dengan ilmu ijtihad
3.    Menyebarluasnya perdebatan dan perbantahan yang keluar dari bingkai kebenaran
4.    Perbedaan dan permusuhan serta kebencian
5.    Meremehkan kelebihan orang-orang yang memiliki ilmu dan keutamaan
6.    Tersebarnya kehancuran dan fitnah serta pertikaian
7.    Mempersempit pengikut-pengikut mazhab atas diri mereka
8.    Bergelut dengan masalah-masalah iftirodhiyah dan masala-masalah yang tak mungkin terjadi.(3)
Walaupun sikap fanatik biasanya timbul dari tindakan seseorang yang bermazhab, tetapi yang perlu diketahui bahwa sesungguhnya mazhab dan fanatisme tercela tidak memiliki hukum timbal balik(1), dalam arti bahwa orang yang bermazhab tidak harus terseret kepada fanatisme tercela, karena sikap fanatisme itu timbul dari kecondongan yang berlebihan atas sesuatu yang ia sukai dan terkadang kecondongan tersebut tidak berdasarkan petunjuk ilahi sehingga sikap semacam ini akan menimbulkan sifat fanatik yang tercela, tetapi apabila sikap tersebut berdasarkan niat yang benar maka sikap fanatik semacam ini tidaklah tercela seperti pengelompokkan para ulama dalam suatu bidang tertentu kedalam suatu golongan misalnya golongan ahli al-hadits yang disematkan kepada orang-orang yang  hafal serta belajar hadits, ahli al-tafsir yang disematkan kepada mereka yang mengkaji serta mendalami ilmu tafsir, ahli al-fiqih yang juga disematkan kepada ulama-ulama fiqih dan sebagainya.
Dr. Yusuf Al-Qordhowi didalam bukunya “As-sohwatul Al-Islamiyah baina Al-ikhtilaf Al-masyru’ wa At-tafarruq Al-mazmum” menyebutkan beberapa pondasi yang mendasari berdirnya fanatisme mazhab sebagai berikut:
Pertama: mereka mengatakan bahwa Taqlid itu hukumnya wajib khususnya mengimitasi mazhab yang empat, padahal kita tahu dengan pasti bahwasanya tidak ada yang wajib kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasulnya, dan Allah tidak mewajibkan untuk mengikuti Zaid atau Umar secara pribadinya meskipun ilmu dan keutamaan mereka sudah tak terhingga lagi.
Kedua: mereka tidak memperbolehkan bagi orang yang telah mengikuti mazhab untuk keluar darinya walaupun telah jelas dihadapan si muqollid akan lemahnya dalil pendapat imam tersebut pada sebagian masalahnya, hingga terkadang ia disebut sebagai mudzabdzabi yang artinya adalah orang yang bimbang atau ragu-ragu. Dan ini akan menyeret kepada pandangan bahwa seolah-olah pemimpin mazhab itu adalah orang yang membuat hukum dan memandang bahwa perkataan mereka adalah dalil syar’i yang dijadikan hujjah.
Ibnu Taimiyah ketika ditanyakan tentang seorang laki-laki yang meninggalkan beberapa masalah dalam mazhabnya, lalu teman-temannya mengingkarinya dan menyifatinya sebagai orang yang bimbang dan ragu-ragu yang tidak memiliki pendirian dalam mazhabnya maka beliau menjawab yang kesimpulannya: "bahwa orang yang mengikuti salah satu dari imam yang empat kemudian ia keluar pada sebagian masalah dalam mazhabnya dan mengikuti mazhab yang lain karena dalil nya yang cukup kuat maka itu lebih baik karena itu mengikuti pedoman sahabat dan para ulama shalafussholeh dari pada orang yang fanatik dan berpendapat bahwa perkataan ini yang paling benar dan harus diikuti tanpa harus mengikuti kepada yang lain. Maka orang yang seperti ini adalah bodoh dan keliru bahkan bisa menjadi kafir, karena orang yang mewajibkan untuk mengikuti mazhab tertentu berikut orangnya dan tidak boleh mengikuti yang lain maka harus dimintai taubat kalau dia mau bertaubat maka dilepaskan jika tidak maka dibunuh".(2)
Pemandangan fanatisme semacam ini bisa diilustrasikan sebagai fanatisme kepada salah seorang sahabat tertentu tanpa mengikuti sahabat yang lain seperti kelompok Rofidho yang fanatik terhadap imam Ali r.a. selain dari khalifah yang tiga dan semua sahabat-sahabat Nabi yang lain dan juga kelompok khawarij yang memfitnah Utsman dan Ali. Dan inilah jalan para ahli bid’ah dan hawa’ yang telah ditetapkan oleh Al-qur’an, As-sunnah dan Ijma’ akan tercelahnya yang mana mereka telah keluar dari syari’at dan manhaj yang karenanya Rasulullah diutus Dan orang yang fanatik kepada salah satu orang tertentu dari imam yang empat maka akan menyerupai dengan mereka-mereka diatas.(3)
              Dari gambaran diatas maka kita bisa menghukumi bahwa bentuk dari fanatisme tersebut bersifat negative atau tercela karena telah menyimpang dari pedoman para sahabat dan ulama mujtahidinsalafussholeh, karena mereka sendiri melarang orang-orang untuk mengikuti pendapat mereka sendiri dan pendapat orang lain. Oleh sebab itu, sebagaian besar ulama mengingkari hal-hal yang berlebihan dalam mengimitasi, yang mana itu hampir menyerupai perbuatan ahlul kitab ketika mereka menjadikan para rahib dan orang alim mereka sebagai tuhan selain Allah. Dan dalam hal ini imam Abu Hanifah berkomentar: "tidak pantas bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk menfatwakan ucapanku karena kami manusia, hari ini kami berkata dan besok kami akan meralat perkataan kami kemarin. Dan tidak boleh dia mengucapkan perkataan kami selama di belum mengetahui dari mana sumber perkataan kami itu". Hal yang selaras juga dikatakan oleh imam Malik: "tidak ada seorangpun setelah Nabi SAW melainkan perkataannya diambil dan ditinggalkan kecuali perkataan Nabi SAW dan suatu kali dia (imam Malik) berkata: kecuali penghuni kubur ini SAW".(1)
              Akan tetapi, pada hakikatnya Realita dalam bermazhab bukan berarti membawa umat ini kepada arus perpecahan,pertikaian, apalagi perang saudara. Tetapi bermazhab adalah sebuah komitmen yang harus dimiliki oleh setiap orang muslim dalam menjalani ibadahnya sehari-hari dengan beracukan kepada manhaj yang benar dan sah dari mazhab-mazhab para mujtahidin. Dan yang paling ditekankan dalam bermazhab disini ialah menghilangkan rasa fanatik yang tercela, karena ini akan berdampak kepada keutuhan dan kekukuhan dari sebuah komunitas umat islam diseluruh dunia. Dan ini semua dilatarbelakangi dengan pembukuan dan penyusunan literaturkhazanah fikih islampada kurun keempat hijriah, hingga prinsip bermazhabpun muncul dan menjamur diseluruh negri islam kala itu hingga setiap dari para pemimpin mazhab memiliki pengikutnya sendiri dalam mengemban dan menyebarkan fiqihnya kepermukaan masyarakat luas.
1.    B.   Prinsip Toleransi
                Sesungguhnya istilah toleransi bukanlah istilah yang baru dalam islam, karena ia sudah dikenal semenjak islam itu sendiri datang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau: “sesungguhnya aku diutus dengan berpegang teguh kepada agama yang lurus (agama Ibrahim) dantoleran [HR. At-thobrani], dan sabdanya juga: “sesungguhnya agama yang paling Allah sukai ialah agama yang lurus dan toleran [HR. At-thobrani]. Dalam tulisannya berjudul Myth of Islamic Intolerance, Syed Imaduddin Asad dosen di Punjab Law College, Lahore Pakistan menyatakan bahwa di dalam Al-Quran disebutkan bahwa toleransi merupakan hal yang esensial dan kewajiban bagi setiap Muslim. Umat Islam diperintahkan untuk menyebarluaskan pesan-pesan Islam dengan mengedepankan dialog dengan non Muslim dan dalam proses ini, umat Islam harus menerapkan cara-cara yang terhormat dan sopan, seperti tercantum dalam Al-Quran surat 16:125 yang berbunyi" Serulah (manusia) ke jalan Tuhan Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik...",lagi Firman Allah dalam Al-Quran 2:256 menyebutkan,"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..." Ayat-ayat lainnya yang memperkuat bahwa Islam adalah agama yang toleran antara lain Surat 3:19, Surat 10:99 dan Surat 18:29. Dari ayat-ayat itu secara garis besar bisa disimpulkan bahwa Islam mengecam segala bentuk pemaksaan dalam memeluk agama dan Islam melarang umatnya untuk menyulut peperangan dalam menyebarkan agama Islam.(2)
Kecuali bahwa kata-kata “toleransi” itu memang tidak pernah terucapkan dilidahnya orang-orang Arab, karena bahasa ini merupakan serapan dari bahasa inggris dan selanjutnya berkembang dalam tahap penggunaannya hingga tiap orang menggunakan kata-kata toleransi yang memiliki makna yang sama dengan makna “as-samhah” sendiri. Istilah toleransi dalam konteks sosial, budaya dan agama  berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, dan lain-lain.(3) Dalam arti lain bahwa toleransi ialah sikap membiarkan orang lain untuk menjalankan aktifitasnya sesuai dengan keyakinannya yang tidak bertentangan dengan aturan agama dan peraturan-peraturan disekelilingnya. Setelah mengenal istilah toleransi tersebut maka kita bisa berkesimpulan bahwa islam tidak bersifat memaksa, baik itu kepada pemeluknya dan kepada yang bukan pemeluknya. Begitu juga dalam konteks bermazhab maka sangat tercelah bagi orang yang memaksakan untuk ikut menganut mazhabnya dan melarang untuk keluar dari mazhab yang dianutnya, karena mazhab ruang lingkupnya lebih kecil dari islam itu sendiri dan jika Islam dalam prinsipnya tidak memaksakan orang lain untuk menganutnya maka lebih utama lagi jika Islam tidak memaksakan individunya untuk mengikut kepada orang-orang tertentu karena terkesan fanatik dan sudah barang tentu dalam mazhab manapun ia berpegang maka ibadahnya tetap sah karena itu itu semua bermuara kesatu sumber ajaran yaitu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
                B.I.       Perbedaan-Perbedaan Yang Ditolerir dan Yang Tidak Ditolerir
              Apabila dalam permasalahan  furu'iyyah melanggar ijtihad imam mazhab atau membatalkan hukum qhodi maka perbedaan semacam ini tidak bisa untuk ditolerir dan setiap orang harus bersikap tegas dan segera meluruskannya dan tidak membiarkannya larut dalam perbedaannya tersebut karena ibadahnya telah keluar dari syari’at. Dan dhobitnya ialah bahwa permasalahan yang melanggar nash atau ijma’ atau qiyas jali’ atau kaedah-kaedah umum maka perbedaannya tidak dianggap.(1) Dengan begini menyimpulkan bahwa orang yang melaksanakan ibadah dengan landasan yang tidak kokoh (ghoir mu’tabaroh) berarti ibadahnya tidak sah. Imam Al-qorofi berkata dalam kitab “Al-faruq”: (peringatan: setiap permasalahan yang difatwakan oleh seorang mujtahid atasnya dan fatwanya tersebut melenceng dari ijma’ atau kaedah-kaedah atau kiyas yang selamat dari kontradiksi atas yang rojih, maka tidak boleh bagi orang yang mengikutinya untuk menukilnya kepada orang-orang dan tidak pula mefatwakannya atas agama Allah ta’ala.karena hukum ini jikalau seorang hakim menghukumi dengan hukum tersebut niscaya kita akan membatalkannya, dan sesuatu yang tidak kita akui secara syara’ setelah hakim menetapkannya lebih utama untuk tidak kita akui apabila tidak ada yang mengkuatkannya). Imam Nawawi juga berkata dalam kitabnya “Ar-raudhoh”: ( Jika jelas bahwasanya ia telah menyalahi yang khot’i seperti nash kitab atau sunnah mutawatiroh atau ijma’ ataudhonni muhakkam dengan khobar wahid atau dengan qiyas jail maka wajib membatalkannya hukumnya). Dari dua perkataan imam tadi jelaslah bahwa hukum yang diputuskan melalui dalil yang bertentangan dengan sesuatu yang khot’i adalah bathil apalagi untuk mengamalkan hukum tadi maka jelas tidak sah. Oleh karena itu kita bersikap tegas terhadap permasalahan-permasalahan yang keluar dari area khot’i dan meluruskan serta membenarkan orang-orang yang masih berpijak atas hukum-hukum tersebut karena dia tidak beramal sesuai dengan tuntunan syara’ sperti yang diisyaratkan oleh imam Al-qorofi diatas.
Dalam hal yang sama, ketika seseorang bermazhab selain dari mazhab yang telah disepakati keabsahannya menurut seluruh kalangan ulama muslimin maka hukumnya tidak sah, karena telah keluar dari ijma’ ulama yang dalam hal ini ijma’ merupakan dalil shorih yang berlandaskan Al-kitab dan As-sunnah. Mazhab-mazhab yang diakui keabsahannya tadi terbingkai dalam sebuah kaca yang kita sebut sebagai Mazhab Ahlussunnah Waljama’ah dan ini menjadi barometer untuk memastikan bahwa seseorang tersebut keluar dari manhaj Ahlussunnah Waljama’ah yang selama ini sering dipropagandakan oleh masing-masing kelompok dari kaum muslimin akan penisbatannya.
Dalam sidang tahunan yang dilaksanakan pada tanggal 28 Jumadil Awal-2 Jumadil Akhir 1427 Hijriyah bertepatan 24-28 Juni 2006 Majelis Dewan  Fiqih Islam Internasional Organisasi Konferensi Islam (OKI) melalui Keputusan nomor. 152 (1/17) Terkait Kesatuan Umat Islam Antar Mazhab Aqidah, Fiqih dan Tarbiyah merumuskan:
Setelah mempelajari penelitian yang diajukan kepada Badan Peneliti khususnya terkait  kesatuan umat Islam antar mazhab, fiqih dan tarbiyah, dan memperhatikan dengan seksama persidangan-persidangan dan meninjau keputusan-keputusan  Islam Internasional yang diselenggarakan pada tahun 1425 H/2005 M, didorong motif akademis serta penerapan prinsip-prinsip Piagam Omman yang diadopsi dari forum-forum para ulama dan pemikir yang diselenggarakan di Makkah Mukarromah sebagai pengantar persiapan Konferensi KTT Islam Luar Biasa Ketiga, maka dengan ini memutuskan pasal-pasal sebagai berikut: (diantara pasal tersebut ialah)
§  Siapa saja yang mengikuti salah satu mazhab yang empat dari pada mazhab Ahlussunnah Waljama’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali), serta mazhab ja’fari, mazhab zaidi, mazhab ‘Ibadhi dan mazhab Zhohiri; maka dia muslim, tidak boleh mengkafirkannya, haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya. Ini bersesuaian dengan fatwa Syaikh Al-azhar: tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang beraqidah Asy’ari, orang-orang yang menjalankan tasawuf hakiki, dan tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang bepemikiran salafi shohih.(1)
Adapun permasalahan-permasalahan khilafiyah ataupun mazhab yang bisa ditolerir maka kita bisa mengambil kesimpulan dari uraian diatas yaitu setiap permasalahan yang tidak melanggar nash-nash yang shorih seperti nash kitab atau sunnah mutawatiroh atau ijma’, maka perbedaan semacam ini tidak boleh sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan antar kelompok mazhab atau dengan kata lain membiarkan mereka mengamalkan ibadah-ibadah sesuai dengan pedoman mazhab yang diyakininya, karena masing-masing pihak mengamalkan sesuai dengan ushul dan qowaid imamnya yang telah mencapai derajat mujtahid muthlak menurut kesepakatan para ulama seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syaf’I dan Imam Ahmad walaupun masing-masing imam memiliki ushul serta kaedah yang berbeda dengan imam yang lain.
            B.II.   Toleransi Para Ulama Terhadap Masalah Khilafiyah
Sesungguhnya ulama shalafussholeh memiliki komitmen dalam setiap kali menjalankan syari’at Islam. Prinsip serta rambu-rambu syariat selalu diperhatikan ketika menjalankan ibadah yang telah diperintahkan dari Allah SWT. Persatuan dan persaudaraan lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi, hal ini menjadi faktor utama timbulnya sikap toleransi sesama mereka ketika terjadi perselisihan ditengah-tengah kesibukan mereka terhadap ilmu dan amal.
Didalam masalah khilafiyah para a’immatul mazahib memiliki satu manhaj yang sama dan manhaj ini merupakan jalan tengah untuk memadamkan api pertikaian yang akan timbul jika permasalahan tersebut diperbesar-besarkan dan manhaj tadi juga merupakan warisan dari para sahabat serta tabi’in setelahnya didalam menjalankan segala bentuk ritual peribadatan dengan beragam corak perbedaan yang menghiasi dinamika hidup mereka kala itu. Sebagai bukti konkret dari sikap toleran para ulama salafussholeh tadi ialah datangnya riwayat-riwayat yang tidak sedikit dari ulama-ulama yang hidup pada masa merekayang menceritakan kondisi para ulama yang hidup pada kurun pertama sampai keempat. Dan itu semua tertoreh di dalam literatur khazanah fiqih Islam atau taraajim At-thobaqot, sehingga kita bisa langsung merujuknya kedalam kitab tersebut untuk lebih meyakinkan hati kita akankebenaran riwayat-riwayat itu.
Misalnya apa yang telah diriwayatkan bahwasanya Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.(2) Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafi'i menjawab: “Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”. Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata: “Tidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Ka’bah begitu saja, seraya bersabda: “Kalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”.dan masih banyak lagi riwayat-riwayat dalam tema dan konteks yang sama seperti diatas. Dan ini semua merupakan sebuah prinsip yang menghiasi nilai-nilai kepribadian ulama kita terdahulu, meskipun berbeda pandangan tetapi mereka tetap saling menghormati dan menghargai satu sama lain agar tali persaudaraan tetap terjaga dan sebagai implementasi atas firman Allah SWT yang berbunyi:  (واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا) [QS: Ali Imran, 103].
1.       III.      Epilog 
Seorang motivator yang bernama Mr. Djajendra berkata dalam sebuah artikelnya: “Sekarang ini, kita hidup di abad ke-21, abad demokrasi dan kemanusiaan. Demokrasi dan kemanusiaan hanya akan berjalan dilingkungan kehidupan yang penuh toleransi dalam keadilan terhadap orang-orang dari berbagai latar belakang, usia, ras, orientasi seksual, sudut pandang, dan agama. Cara berpikir dan sikap yang bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan, akan menjadikan kehidupan lebih damai dan bahagia untuk semua orang. Toleransi harus menjadi sesuatu yang nyata dalam komunikasi dan pergaulan sehari-hari. Ketika Anda menjadi semakin toleran satu sama lain, maka Anda dapat menghilangkan energi benci dari kepribadian Anda. Dan bonusnya, hati Anda menjadi bersih dari sikap negatif, dan Anda secara otomatis akan menjadi pribadi bahagia dan damai dalam hidup”. Berangkat dari perkataannya ini hendaknya kita menyadari bagaimana indahnya hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita apalagi ditengahi dengan watak dan karekteristik yang tidak sama antara satu dengan yang lain dan semakin menghiasi keberagaman masyarakat muslimin diseluruh penjuru dunia. kehidupan yang rukun dan akrab sangat diidam-idamkan oleh setiap orang yang berakal sehat karena pola kehidupan yang semacam ini adalah sebuah fitrah yang ada dalam diri orang-orang yang progresif dan beradab, khususnya umat Islam yang mana kebudayaan serta peradabannya pernah menghiasi bumi ini selama berabad-abad lamanya sebagai tanda bahwa hanya Islamlah yang dapat mengantarkan kehidupan manusia kepada kehidupan yang maju dan bermoral dimanapun mereka berada.
Untuk itulah Allah SWT selalu mengingatkan kita agar tidak bercerai-berai melalui firmanNya: (واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا) [QS: AliImran-103] dan mengingatkan kita juga untuk tetap menjaga tali persaudaraan dan menghindari pertikaian sebagiamana firmanNya: ( إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم) [QS: Al-hujurot-10]. Dan apapun bentuk perbedaan yang ada ditengah-tengah kita hendaknya kita menghindari dari sikap fanatisme yang tercela dengan membiarkan/menoleransi mereka melakukan ritual peribadatan yang mereka yakini kebenarannya dari imam-imam mereka.Dengan catatan bahwa ritual mereka tersebut tidak melanggar rambu-rambu serta ajaranagama Islamdan tanpa menyimpang dari manhaj ulama salafussholeh sebagai kiblat kita di dalam menjalankan ibadat dan syari’at yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam bisshowab.
***
*Aktivis Fordis, kepala dept. Pendidikan & Dakwah OPISI, Semester VIII Universitas Al-Ahgaff asal Medan Sumatra Utara.


(1) Tarikh At-taysri’ Al-islami, Dr. Yusuf Ahmad Muhammad Al-badwi, hlm. 119, penerbit: Maktabah Ar-rusyd , T. 1427 H-2006 M

(2) Ibid

(3) Attamazhub, Abdul FattahBin Sholeh Qudaisy Al-yafi’I, hlm.145.

(4) Ibid
(1) Lam’atu Al-I’tiqod”, Ibnu Qudamah, hlm. 42. Cet. Ke-2, tahun 2000, penerbit: Wuzaratu As-syu’un Al-islamiyah wa ‘auqof wada’wa walirsyad.

(2) Lihat, Mu’jam Lughoh Al-fuqoha’, Dr. Hamid Shodiq Al-Qonibi, hlm. 419.

(3) M. Hasballah Thaib, perbandingan mazhab dalam ilmu hukum, ( Medan: Univ. Sumatera Utara, 1999) hlm.1.

(4) M.Ah Hasan, Perbandingan Mazhab Fikih, (Jakarta: Raja Grafmdo Persada, 2000) cet.ke‑2, h. 1

(5) Ghoyatul Wushul fi Syarhi Lubbul Ushul” karya Syekh Zakariya Al-anshori, hlm. 264. Cet. Ke-3, penerbit: Al-maktab Al-islami- berut, T.1397 M.

(6) Tarekh Tasyri’ Al-islami, Manna’ Al-qotthon, hlm. 108.

(7) Tarekh Al-fiqhi Al-islami wa Ushulihi, Dr. Yusuf Ahmad Muhammad Al-badwi, hlm. 127, dan Tarekh Tasyri’ Al-islami, karya Manna’ Al-qotthon, hlm. 109.

(1) Al-madkhol Ila Mazhab Al-imam As-syafi’i” , Dr. Akrom Yusuf Umar Al-Qowasimi, hlm. 323-324, juz 1,cet. Pertama, penerbit: Dar An-nafais,T. 1423 H-2003 M.

(2) Al-madkhol Ila Mazhab Al-imam As-syafi’I” , Dr. Akrom Yusuf Umar Al-Qowasimi,hlm. 359.

(3) Tarikh Al-fiqhi Al-islami wa Ushulihi” , Dr. Yusuf Ahmad Muhammad Al-badwi, hlm.278.

(1) Ibid

(2) Al-fatawa Al-kubro” Ibnu Taimiyah, hlm. 105, juz 2.

(3) As-sohwatul Al-islamiyah baina Al-ikhtilaf Al-masyru’ wa At-tafarruq Al-mazmum” Dr. Yusuf Al-qordhowi,hlm. 207. Cet.   Ke5, penerbit: Dar As-shohwah- Al-kairo, T. 1415 H- 1994 M.

(1) Ibid

(3) Wikipidea bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

(1) Ibid
(1) http:// blogspot.com/fanatisme mazhabiah/ijma-ulama-umat-tidak-mengkafirkan.html

(2) Jaziilul Mawahib”, imam As-suyuthi, hlm. 2


Posting Komentar

0 Komentar